PANDANGAN
INJILTERHADAP UPACARA
ADAT BATAK
Salah satu perbedaan terbesar
antara masyarakat di belahan dunia Timur dengan di belahan Dunia Barat adalah
dalam hal adat istiadat. Kehidupan masyarakat Timur dipenuhi dengan berbagai
jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan,
perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain -lain. Upacara-upacara di
sepanjang lingkaran hidup manusia itu di dalam antropologi dikenal dengan
istilah rites de passages atau life cycle rites.
Peralihan dari setiap tingkat
hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara ini
didasarkan pada pemikiran bahwa masa peralihan tingkat kehidupan itu mengandung
bahaya gaib. Upacara adat dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang
terhindar dari bahaya atau celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya,
mereka memperoleh berkat dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal
yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat itu.
Beberapa life cycle rites yang
dijumpai pada masyarakat Batak Toba di antaranya: mangganje (kehamilan),
mangharoan (kelahiran), martutu aek dan mampe goar (permandian dan pemberian
nama), marhajabuan (menikah), mangompoi jabu (memasuki rumah), manulangi
(menyulangi/menyuapi), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang
belulang), dll. Pada masyarakat Batak lainnya (Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola,
dan Pakpak Dairi), upacara tersebut memiliki sebutan-sebutan yang berbeda.
Persoalan besar dan sangat
penting yang dihadapi oleh seseorang yang memutuskan untuk sungguh-sungguh
mengikut Tuhan Yesus adalah: apakah dia masih boleh terlibat dalam upacara adat
Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani
(haholomon) dan penyembahan berhala (hasipelebeguon). Permasalahan tersebut
muncul ketika Injil Tuhan Yesus diberitakan pertama kalinya oleh para
Missionaris di Tanah Batak, dan terus berlanjut hingga masa kini. Persoalan ini
belum tuntas diselesaikan, baik sewaktu Pdt. I.L. Nommensen masih hidup, pada
masa gereja dipimpin para Missionaris penerusnya, maupun pada masa pimpinan
gereja berada di tangan orang Batak sendiri. Nommensen mencoba membagi upacara
adat atas tiga kategori, yaitu:
i. Adat yang netral
ii. Adat yang bertentangan dengan Injil
iii. Adat yang sesuai dengan Injil
i. Adat yang netral
ii. Adat yang bertentangan dengan Injil
iii. Adat yang sesuai dengan Injil
Sebelum masalah itu tuntas,
beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras dilaksanakannya upacara
adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk penggunaan musik dan tarian
(gondang dan tortor) Batak. Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada masa itu
banyak yang dikucilkan dari masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa menampung
mereka dengan membangun perkampungan baru, yang disebut Huta Dame.
Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing
pernah dikenai disiplin gereja karena menghadiri sebuah upacara kematian. Raja
Pontas Lumban Tobing adalah orang yang memberikan tanahnya di Pearaja, Tarutung
untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan gereja. Dia termasuk seorang raja
Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini mempunyai andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau raja-raja di wilayah Silindung.
Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini mempunyai andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau raja-raja di wilayah Silindung.
Namun sampai akhir hidupnya,
Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu sumber kegagalan
Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri. Nommensen sulit
menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan dengan Injil dan
upacara adat mana yang netral.
Pada masa-masa akhir pelayanan
para Missionaris di Tanah Batak, ditengah-tengah umat Kristen Batak muncul
suatu desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan mengganti
kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil
dengan diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942).
Tekanan supaya diizinkannya
kembali upacara adat muncul sebagai dampak negatif dari strategi penginjilan di
tanah Batak dengan pendekatan struktural masyarakat Batak. Penginjilan
dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada raja-raja yang memimpin di wilayah
masing-masing marga. Pertobatan seorang raja biasanya segera diikuti dengan
pembaptisan massal dari penduduk di wilayah itu, yang umumnya memiliki ikatan
kekerabatan dengan sang raja. Dengan cara ini, para Missionaris berhasil dengan
cepat mengkristenkan wilayah Tapanuli bagian Utara.
Pihak gereja yang mengutus
Nommensen menolak adanya pembaptisan massal yang tidak didasarkan pada
pertobatan pribadi. Namun, Nommensen terpaksa melakukannya mengingat cepatnya
gerakan islamisasi di Tapanuli Selatan, yang digerakkan oleh pasukan Tuanku
Imam Bonjol dan Tuanku Rao. Nommensen berharap mereka yang telah dikristenkan
dapat dibimbing dalam ajaran Tuhan di kemudian hari untuk memasuki pertobatan
pribadi, mengikut Yesus karena kemauan sendiri dan karena sudah mengerti ajaran
Injil.
Dalam kenyataannya, pembaptisan
massal kerabat seorang raja yang menjadi pengikut Yesus banyak dilakukan karena
solidaritas kekerabatan, bukan karena pertobatan murni dari pemahaman akan
Injil Yesus Kristus. Banyak dari mereka belum mengenal kekayaan dan kemuliaan
Injil Yesus Kristus sehingga tidak pernah mengalami pembaharuan hidup oleh
kuasa ,Roh Kudus dan mengerti keunikan Injil Kristus.
Pembaptisan massal tersebut
memberikan kesibukan yang luar biasa bagi para Missionaris dalam melayani
Jemaat baru tersebut. Karena keterbatasan jumlah Missionaris, banyak anggota
Jemaat tersebut yang tidak sempat dibina dalam prinsip-prinsip sejati pemuridan
Yesus Kristus. Secara organisasi mereka anggota gereja, tetapi dalam pemikiran
dan cara hidup mereka masih sebagai orang Batak Haholomon (kegelapan) yang
terikat dengan cara pikir dan cara hidup hasipelebeguon.
Persoalan ini juga disebabkan
oleh tidak adanya pedoman atau aturan gereja yang jelas dari pimpinan di
Jerman, yang mengirim para Missionaris. Mereka sendiri belum dapat memutuskan
sikap yang jelas terhadap upacara adat Batak karena upacara adat Batak
merupakan hal baru bagi mereka. Karenanya, terdapat perbedaan sikap yang belum
pernah dituntaskan di antara para Missionaris dalam menyikapi jenis-jenis
upacara adat Batak yang harus ditinggalkan. Namun pada prinsipnya, mereka
sangat menekankan bahwa segala bentuk hasipelebeguon harus ditinggalkan, karena
bertentangan dengan Firman TUHAN.
Pdt. I.L.Nommensen yang pelayanan
utamanya berada di Silindung memiliki sikap yang tegas melarang keberadaan
berbagai unsur upacara Hasipelebeguon, termasuk tortor dan gondang. Tetapi
Gustav Pilgram yang melayani di Balige dan sekitarnya justru mengizinkan tortor
dan gondang dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti: unsur
hasipelebeguon harus dihilangkan, pemimpinnya harus missionaris, dilaksanakan
pada siang hari, peralatannya milik orang Kristen, dan tidak boleh diikuti oleh
orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus.
Perbedaan sikap Pilgram itu
dianggap oleh banyak orang Batak sebagai lampu hijau bagi penerimaan adat Batak
di dalam kekristenan. Mereka tidak memahami alasan Pilgram mengizinkan dan
memahami sikap dasar Pilgram bahwa segala bentuk hasipelebeguon tetap harus
disingkirkan dari kehidupan kekristenan. Alasannya untuk mengizinkan tortor dan
gondang dapat kita baca dari “referat 1885” (dikutip dari buku “Parsorion ni
Gustav Pilgram”, karangan DR. Andar Lumban Tobing): “Disipareonta tung sogo do gondang
i, jala tortor i pe ndang pasonanghon pamerenganta. Alai na mansai manarik
gondang dohot tortor i di halak Batak, boi do dibuktihon godang ni loloan na
bolon na mandohotsa. Haru angka Kristen dohot angka parguru pe, tung maol do
padaohon nasida sian i. Aut so manarik situtu na ginoran ondeng tu halak Batak
i, ndang apala penting tema i, ia so i, molo halak Kristen naung marpangalaman
sambing do siadopanta dison, na so mamorluhon gondang dohot tortor, ndang
penting tema ginoran nangkin, ai manang ise marnampunahon Anak ni Amata, nunga
di ibana hangoluan na saleleng-lelengna, nunga martua nuaeng nang ro di
saleleng-lelengna, jala ndang mamorluhon gondang dohot tortor be ibana. Alai
dison angka Kristen na baru tardidi dope dohot angka na so marpangalaman, na
ingkon sitogu-toguon dope songon dakdanak. Didok rohangku, ndang adong hakta
mambuat sude sian nasida naung adong hian di nasida, saleleng so adong
pangantusion di nasida mangonai na dumenggan i na naeng boanonta tu nasida.”
Pilgram tidak setuju, namun terpaksa mengizinkan keberadaan gondang dan tortor.
Mereka dinilai belum memiliki pengertian akan Kristus, belum berpengalaman,
masih seperti seorang anak kecil. Dia berkeyakinan, bila orang Batak itu sudah
memiliki pengenalan akan Kristus (dewasa rohani), dia akan mengenal arti hidup
yang kekal di dalam Kristus itu, dan pada akhirnya mereka tidak memerlukan lagi
tortor dan gondang itu dan meninggalkannya. Jadi tidak perlu dipaksa. Namun,
setelah ditunggu selama seratus lima belas tahun kemudian, yakni awal tahun
2000 ini, masih banyak orang Kristen Batak yang masih hidup didalam tingkat
rohani seperti yang dikatakan oleh Pilgram itu. Alangkah pedihnya hati Pilgram
kalau melihat kenyataan seperti yang ada saat ini.
Pendudukan Jepang memaksa para
Missionaris meninggalkan Indonesia tanpa berhasil menuntaskan masalah upacara
adat. Kepergian mereka meninggalkan kekosongan teologia (theologia in loco) dan
kebingungan rohani di tengah-tengah Jemaat Batak. Keterikatan dengan pola hidup
lamanya telah mendorong Jemaat untuk mendesak pimpinan gereja mengizinkan
kembali pelaksanaan berbagai upacara adat. Desakan ini didukung oleh
argumentasi teologis yang dikemukakan para pemimpin rohani yang belum mengalami
pembaharuan total dalam pola pemikirannya.
Argumentasi teologis tersebut
merupakan suatu pemahaman Injil yang mengkompromikan kebenaran ajaran Injil
dengan ajaran agama Batak, teologia yang bersifat sinkretis (pengajaran atau
cara hidup yang berasal dari campuran dua atau lebih ajaran), yang dapat
diterima oleh pemikiran jemaat kebanyakan. Dalam teologi ini diakui bahwa
Yesuslah satusatunya Jalan, Kebenaran, dan Hidup, tetapi dalam hidup sehari
-hari perlu dipertahankan upacara adat (agama) Batak, yang diketahui dengan
jelas berasal dari Hasipelebeguon. Teologi Sinkretis inilah yang diajarkan
kepada Jemaat Kristen Batak sampai hari ini. Teologi Sinkretis ini telah
menjadi arus utama didalam pemahaman iman Jemaat Kristen Batak pada masa
sekarang.
Akibatnya, pada generasi
berikutnya merebak kembali pelaksanaan berbagai upacara adat yang sebelumnya
telah dilarang oleh para Missionaris untuk dilakukan. Sebagai contoh, upacara
kematian (hamatean), upacara memindahkan tulang belulang (mangongkal holi),
pelaksanaan tortor dan gondang Batak di gereja dan berbagai upacara lainnya.
pelaksanaan tortor dan gondang Batak di gereja dan berbagai upacara lainnya.
Bukan itu saja, upacara
penyembahan nenek moyang yang merupakan inti agama Batak pada masa kegelapan,
kembali merebak dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen sekarang. Kebangkitan
penyembahan ini mengambil bentuk baru yang ditandai dengan menjamurnya pembangunan
tugu-tugu marga Batak. Anda dapat melihat banyaknya tugu yang dibangun di
sepanjang jalan lintas antara kota Parapat dengan kota Tarutung. Tugu tersebut
dibangun oleh keturunan marga yang berasal dari satu garis leluhur (ompu
parsadaan). Pembangunan ini telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan
mendatangkan kemerosotan rohani yang dalam. Kalau dahulu Nommensen mau
dikorbankan oleh orang Batak kepada roh sembahan leluhur marganya diatas bukit
Siatas Barita, maka sekarang yang terjadi sebaliknya. Banyak pendeta dan
penatua pemimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek moyang di tugutugu
marga.
Ironisnya lagi, pelaksanaan
upacara dari masa kegelapan itu dibungkus dengan kebaktian gerejawi, yang
dilaksanakan di lokasi pendirian tugu marga dimana tulang belulang leluhur
tersebut dikuburkan kembali. Proses pembangunan tugu juga banyak melibatkan
kuasa-kuasa setan melalui datu (spirit medium), misalnya untuk menentukan
lokasi penggalian tulang belulang leluhur marga.
Tanpa disadari umat Tuhan di tanah
Batak telah berubah menjadi umat yang mendua hati (shizoprenis: terpecah), yang
pada satu sisi mencoba untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus, pada sisi yang
lain giat melakukan ajaran agama nenek moyangnya. Dalam hidup keseharian
terjadi pencampuran kedua ajaran agama (sinkretis), yaitu agama leluhur dan Injil Yesus Kristus. Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromis, permisif dan kebenaran Injil yang mutlak menjadi relatif. Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada Adat (agama Hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan.
terjadi pencampuran kedua ajaran agama (sinkretis), yaitu agama leluhur dan Injil Yesus Kristus. Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromis, permisif dan kebenaran Injil yang mutlak menjadi relatif. Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada Adat (agama Hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan.
Sinkretisme orang Kristen Batak
dapat kita lihat di dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan orang Kristen
Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya
dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut
merupakan
suatu keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang
memerintahkannya. Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara adat Batak, sering menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah. Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Perbedaannya hanya terletak pada orang yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan datu digantikan oleh pendeta, tetapi rangkaian upacara adat (agama leluhur) selanjutnya tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan Yesus dianggap belum cukup, dan perlu disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan lainnya. Kesempurnaan dan kemutlakan karya Yesus Kristus telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan leluhur itu.
suatu keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang
memerintahkannya. Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara adat Batak, sering menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah. Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Perbedaannya hanya terletak pada orang yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan datu digantikan oleh pendeta, tetapi rangkaian upacara adat (agama leluhur) selanjutnya tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan Yesus dianggap belum cukup, dan perlu disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan lainnya. Kesempurnaan dan kemutlakan karya Yesus Kristus telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan leluhur itu.
Sinkretisme ini bukan hanya
terjadi di kalangan gereja -gereja tradisional Batak, tetapi juga telah
merembes kepada orang-orang Kristen Injili yang mengaku Alkitabiah, menjunjung
tinggi keunikan Injil dan lebih giat memberitakannya. Dari mimbar kaum Injili
yang ada di Sumatera Utara sering disuarakan dukungan atas pelaksanaan upacara
adat Batak. Merekapun banyak yang terlibat di dalam pelaksanaan aktivitas
tersebut.
Orang Batak telah melupakan
prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan gelap, dan kebenaran
tidak dapat dipersatukan dengan ketidakbenaran. Dalam bahasa Tuhan Yesus:
“Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikia n, ia
akan
membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24).
membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24).
Seiring dengan merebaknya kembali
aktivitas upacara adat di tengah-tengah bangsa Batak, kemerosotan rohani yang
besar terjadi, baik pada kaum awam, maupun pada pemimpin gereja. Kemerosotan
itu nampak pada banyaknya perpecahan dalam gereja Batak, contohnya kasus
perpecahan gereja HKI, GKPI, dan HKBP. Perpecahan itu juga telah terjadi pada
hampir setiap gereja suku di Sumatera Utara. Perpecahan gereja Batak banyak
bersumber pada akar budaya Batak itu sendiri, dan konflik kepentingan di antara
pemimpin umat; bukan karena masalah teologia. Perpecahan yang besar berpuncak
pada kasus gereja HKBP yang sangat menghebohkan, yang telah banyak mengorbankan
materi, darah bahkan nyawa manusia. Semuanya sangat mempermalukan nama Tuhan
Yesus.
Kemuliaan dan kehormatan yang
seharusnya diberikan kepada Tuhan Yesus, telah diberikan kepada iblis dan
Pemimpin Jemaat. Wajar jikalau damai Tuhan Yesus tidak ada disana. Seruan para
malaikat di Betlehem mengajarkan bahwa damai Tuhan hanya akan diberikan kepada
orang yang berkenan kepada-Nya, yaitu orang yang memberikan kemuliaan kepada
Tuhan Yesus. “Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai
sejahtera di bumi diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:14).
Gereja HKBP (tempat penulis saat ini bergereja) sering diserukan sebagai “HKBP
Na bolon I” (HKBP yang besar), padahal gelar Na Bolon I tersebut hanya layak
diberikan kepada Yesus Kristus.
Gereja yang seharusnya Duta
Pembawa Damai di dunia, telah berubah menjadi sekumpulan orang-orang yang
saling berperang. Gereja telah menjadi arena peperangan baru bagi orang Batak
di zaman modern ini. Peperangan bukan hanya terjadi di kalangan kaum awam,
namun juga telah merebak sampai kepada pucuk pimpinan gereja itu sendiri.
Sangat tepat dikatakan bahwa orang Batak telah kembali kepada masa hidup nenek
moyangnya, yang ditandai dengan tingkat konflik yang tinggi, dimana sering
terjadi peperangan (marporang) antar kampung (huta). Konflik di gereja HKBP
beberapa tahun belakangan ini merupakan contoh terbesar dari peperangan antara
sesama orang Batak masa kini.
Pemberitaan keselamatan manusia
di dalam Tuhan Yesus, yang seharusnya merupakan kesibukan utama bagi gereja
Tuhan, telah berganti dengan banyaknya waktu yang terbuang untuk mengikuti
berbagai upacara adat. Kelalaian dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus
tidak pernah dinyatakan sebagai dosa yang serius oleh pimpinan gereja. Tetapi,
penolakan aktivitas upacara adat, atau ketidaktepatan pelaksanaan upacara adat
segera akan mengundang komentar yang tajam dan ramai. Perdebatan dan
pertengkaran karena masalah adat merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
Kemerosotan rohani dapat kita
lihat juga dalam kehidupan sehari-hari. Anda jangan heran, jikalau pada masa
sekarang, banyak orang Batak Kristen yang sangat takut untuk tidak melakukan
upacara adat. Sementara untuk tidak mentaati Firman Tuhan itu merupakan hal
yang dianggap sepele saja oleh mereka. Bahkan, sering dijumpai orang yang lebih
senang dikatakan sebagai orang yang tidak “ber-Tuhan” (ndang martuhan) daripada
dikatakan sebagai orang yang “tidak beradat” (ndang maradat). Tanpa disadari,
adat Batak telah kembali menjadi berhala atau ilah yang dijunjung tinggi di
hati orang Kristen Batak.
Kemerosotan rohani juga dapat kita
lihat pada banyaknya orang-orang Kristen Batak yang terlibat berbagai dosa
seperti perdukunan, spiritisme (berhubungan dengan arwah orang mati),
memberikan persembahan di kuburan, perzinahan, kebebasan seksual, rentenir,
perjudian, kemabukan, korupsi, suap-menyuap, pembunuhan, kekerasan
(premanisme), perkelahian dan berbagai dosa lainnya.
Dalam dunia pekerjaan, berbagai
jabatan yang penting dan strategis di birokrasi dan pemerintahan, yang pada
awal kemerdekaan banyak dipegang oleh orang Kristen Batak, pada saat ini telah
beralih kepada orang-orang lain. Bukan itu saja, peluang untuk mendapatkan
pekerjaan khususnya dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi sangat sulit
diperoleh oleh orang Batak Kristen, kecuali dengan menyogok (ber-KKN).
Kita semua tahu bahwa banyak
orang Kristen Batak yang telah menjual imannya (iman kepada Yesus Kristus),
demi memperoleh suatu pekerjaan, pernikahan, pangkat dan jabatan. Barter harta
rohani yang tak ternilai harganya, dengan barang-barang murahan dari dunia ini
telah banyak dilakukan oleh kaum Esau dari Bona Pasogit, Tano Batak. Firman
Tuhan dibawah ini patut menjadi bahan pemikiran kita:
“Tuhan akan mengangkat engkau
menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun,
apabila engkau mendengarkan TUHAN, Bapamu, yang kusampaikan pada hari ini
engkau lakukan dengan setia” (Ulangan 28:13).
Karena itu, persoalan adat kini
harus diselesaikan, karena kita mengetahui bahwa upacara tersebut telah
menimbulkan masalah rohani yang besar. Kita tidak mau membiarkan iblis
memperoleh kembali peluang untuk mencengkramkan kukunya pada generasi Batak
saat ini. Semuanya itu sangat mendukakan hati Tuhan dan mendatangkan murka atas
bangsa Batak. Karena itu sudah merupakan kewajiban dari generasi Kristen Batak
pada masa kini untuk mengevaluasi kembali kehidupan kerohaniannya di hadapan
Tuhan Yesus. Evaluasi tersebut mencakup cara pandang, sikap dan tindakan kita
terhadap eksistensi upacara adat.
Evaluasi itu hanya mungkin
dilakukan apabila kita mau datang kepada Tuhan Yesus dengan sungguh-sungguh,
dan meminta dengan tekun agar Dia menerangi hati kita, dan ;menyingkapkan
rahasia Firman-Nya. Karena hanya Tuhan Yesus, melalui Roh-Nya, yang memiliki
otoritas mutlak dalam menafsirkan seluruh kebenaran Firman Tuhan. Sehingga Dia
berkenan mengoreksi segala pemikiran, konsep, nilai, prinsip, cara dan tindakan
kita selama ini. Seruan untuk kembali kepada Tuhan Yesus sangat mendesak untuk
diberitakan pada saat ini. “Wahai bangsa Batak, kembalilah kepada Tuhan Yesus”,
“Back to Jesus!”
Semuanya ini hanya mungkin, bila kita mau merendahkan hati untuk dikoreksi dan diajar oleh Tuhan Yesus, sama seperti seorang anak kecil, yang memiliki kepolosan, keterbukaan dan kejujuran untuk diajar.
Semuanya ini hanya mungkin, bila kita mau merendahkan hati untuk dikoreksi dan diajar oleh Tuhan Yesus, sama seperti seorang anak kecil, yang memiliki kepolosan, keterbukaan dan kejujuran untuk diajar.
Bukan untuk sekedar menambah
pengetahuan teologia belaka, tetapi
benar-benar untuk mentaati-Nya. Karena Roh Kudus hanya akan mengerjakan hal tersebut bila kita dinilai-Nya telah memiliki ketaatan hati, sekalipun kebenaran itu sangat pahit untuk memulainya (Kisah Para Rasul 5:32). Karena itu, doa sang Pemazmur sangat relevan untuk dipanjatkan secara sungguh-sungguh oleh orang-orang Kristen Batak:
benar-benar untuk mentaati-Nya. Karena Roh Kudus hanya akan mengerjakan hal tersebut bila kita dinilai-Nya telah memiliki ketaatan hati, sekalipun kebenaran itu sangat pahit untuk memulainya (Kisah Para Rasul 5:32). Karena itu, doa sang Pemazmur sangat relevan untuk dipanjatkan secara sungguh-sungguh oleh orang-orang Kristen Batak:
“Selidikilah aku, ya Tuhan, dan
kenalilah hatiku, ujilah aku dan kenalilah pikiranku; lihatlah apakah jalanku
serong dan tuntunlah aku di jalan yang kekal.” (Mazmur 139:23,24)
Renungan ini mencoba melihat
kembali tentang sikap dan pandangan Tuhan terhadap masalah upacara adat,
khususnya yang hidup dalam masyarakat Batak, dengan mengambil contoh kasus
utamanya dari sub suku bangsa Batak Toba. Penulis hanya akan membatasi
pembahasan pada beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pelaksanaan
upacara adat, dan tidak akan menguraikan detail dari pelaksanaan upacara
tersebut. Karena melalui renungan ini, tidak mungkin menguraikan dan mengkaji
segala aspek dari berbagai macam upacara adat yang ada di tengah-tengah
masyarakat Batak.
Penulis sadar, bahwa apa yang
dipaparkan dalam tulisan ini sangat bertentangan dengan pemahaman teologi yang
umumnya diyakini oleh masyarakat Batak sekarang. Apa yang dituliskan disini
merupakan suatu pemahaman alternatif, alkitabiah, dan Injili, yang Tuhan Yesus
bukakan secara bertahap kepada penulis. Penguraian ini akan menyentuh hal-hal
yang sangat sensitif di hati orang Batak, yang mungkin akan dapat membangkitkan
rasa marah dan benci bagi sebagian orang. Tetapi penulis berketetapan hati di
hadapan Tuhan Yesus untuk memberitakannya. Kalau Anda mau mencari kebenaran
Tuhan, dipersilahkan untuk membacanya terus.
Pertentangan pasti muncul, karena
sudut pandang dalam melihat adat itu memang berbeda. Pandangan Kristus tidak
pernah sama dengan pandangan manusia yang duniawi. Pandangan Kristus jauh lebih
tinggi dari pandangan duniawi. Penafsiran seseorang mengenai adat istiadat
muncul dari suatu titik pijakan, sikap hati dan tujuan yang hendak dicapainya.
Persoalannya, apakah kita memiliki dasar pijakan yang sama dengan Tuhan Yesus?
Kuasa Roh Kudus hanya akan menyertai dan mengurapi orang-orang yang
memberitakan Firman sesuai dengan
maksud-Nya. Penulis sangat terkejut ketika membaca sebuah buku, yang berjudul “Christ and Culture” (Kristus dan Kebudayaan), yang ditulis oleh seorang teolog terkenal, yang bernama DR. Richard Niehbur. Dalam buku tersebut dijelaskan alasan menyebabkan orang-orang Yahudi dan para pemimpin bangsa tersebut menyalibkan Tuhan Yesus. Niehbur berpendapat bahwa orang-orang Yahudi membunuh Tuhan Yesus karena segala pengajaran dan tindakan Tuhan Yesus merusak adat istiadat dan agama Yahudi, yang sangat mereka banggakan. Akhirnya, mereka harus memilih, antara membinasakan Tuhan Yesus atau membiarkan agama dan adat istiadat Yahudi hancur. Demi mempertahankan keutuhan adat dan agama tersebut, mereka memilih untuk membinasakan Tuhan Yesus, orang yang dianggap sebagai sumber kerusakan itu.
maksud-Nya. Penulis sangat terkejut ketika membaca sebuah buku, yang berjudul “Christ and Culture” (Kristus dan Kebudayaan), yang ditulis oleh seorang teolog terkenal, yang bernama DR. Richard Niehbur. Dalam buku tersebut dijelaskan alasan menyebabkan orang-orang Yahudi dan para pemimpin bangsa tersebut menyalibkan Tuhan Yesus. Niehbur berpendapat bahwa orang-orang Yahudi membunuh Tuhan Yesus karena segala pengajaran dan tindakan Tuhan Yesus merusak adat istiadat dan agama Yahudi, yang sangat mereka banggakan. Akhirnya, mereka harus memilih, antara membinasakan Tuhan Yesus atau membiarkan agama dan adat istiadat Yahudi hancur. Demi mempertahankan keutuhan adat dan agama tersebut, mereka memilih untuk membinasakan Tuhan Yesus, orang yang dianggap sebagai sumber kerusakan itu.
Peristiwa tersebut menjadi
pelajaran, sekaligus tantangan bagi kita sebagai pengikut Kristus didalam
menghadapi kontroversi masalah adat. Yesus Kristus hadir di tengah-tengah
kemerosotan rohani bangsa Israel yang menjalar di seluruh bidang kehidupan. Dia
segera mengenali ketidakberesan bangsa tersebut dalam cara pandang dan sikap
terhadap Firman- Nya. Lalu, dari mulut-Nya yang kudus keluar penilaian dan
koreksi-Nya terhadap agama dan adat istiadat bangsa tersebut.
Demikian juga bagi bangsa Batak,
di tengah-tengah kemerosotan rohani yang terjadi masa
kini, sangat diperlukan kembali adanya suatu reinterprestasi dan pembaharuan sikap akan eksistensi upacara adat Batak yang berasal dari masa kegelapan itu. Dengan kata lain, gereja Tuhan di tanah Batak sangat memerlukan “reformasi iman” dalam kehidupan rohaninya. Karena itu, kita ditantang Tuhan untuk mengambil sikap, antara menyuarakan Injil atau mempertahankan berbagai upacara adat tersebut.
kini, sangat diperlukan kembali adanya suatu reinterprestasi dan pembaharuan sikap akan eksistensi upacara adat Batak yang berasal dari masa kegelapan itu. Dengan kata lain, gereja Tuhan di tanah Batak sangat memerlukan “reformasi iman” dalam kehidupan rohaninya. Karena itu, kita ditantang Tuhan untuk mengambil sikap, antara menyuarakan Injil atau mempertahankan berbagai upacara adat tersebut.
Karena itu, penulis akan
memaparkan beberapa prinsip utama yang mendasari upacara adat yang sangat
bertentangan dengan Injil. Melalui beberapa prinsip itu kita akan melihat
strategi iblis untuk mengikat dan mengendalikan hidup masyarakat Batak.
Strategi itu juga merupakan benteng rohani yang dibangun oleh iblis agar
masyarakat Batak dapat diperhambanya dari generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian umat Tuhan akan kehilangan kekuatan rohaninya dan hidup dalam
kekalahan rohani terhadap kuasa iblis dan roh-roh jahat. Selain itu, semangat
dan kuasa untuk memberitakan Injil dapat dipadamkan dari tengah-tengah Jemaat
Batak, seperti yang terjadi saat ini.
Dalam perbincangan sehari-hari,
penulis sering mendengar keluhan dari orang-orang Batak tentang masalah adat.
Banyak yang mengungkapkan keinginannya untuk terlepas dari upacara adat karena
melihat tidak ada keuntungannya, bahkan menyalahi Firman Tuhan. Sayangnya,
sangat sedikit dari mereka yang memiliki keberanian untuk melakukannya.
Umumnya, mereka mengambil jalan aman dengan tetap melibatkan diri, daripada
terlibat konflik dengan sesama kerabat atau jemaat gerejanya. Orang Batak telah
kehilangan “darah” dalam menegakkan dan menyuarakan ajaran Injil.
Pada awal milenium ketiga ini,
dimana saat kedatangan Tuhan Yesus semakin dekat, dibutuhkan adanya suatu
kebangunan rohani di tengah-tengah bangsa Batak. Kebangunan rohani akan
dimulai, jikalau ada orang-orang Batak yang memiliki cara pandang dan sikap
yang lebih tajam dan Injili didalam menilai eksistensi upacara adat, serta
memiliki keberanian untuk menyuarakannya pada zaman ini. Karena hanya
orang-orang yang seperti ini yang akan diperlayakkan TUHAN untuk memasuki arena
peperangan rohani melawan kuasa-kuasa kegelapan, yang telah membelenggu, membutakan
serta melumpuhkan kehidupan umat Tuhan di tanah Batak. Kemenangan pasti menjadi
milik kita.
Kepada orang yang benar-benar
mencintai Tuhan Yesus dengan segenap hatinya, perlu dibukakan berbagai bentuk
benteng rohani yang telah dibangun oleh iblis dalam upaya menguasai,
membelenggu, dan memperbudak bangsa Batak dari satu generasi ke generasi
lainnya. Pengertian ini akan menolong mereka untuk dapat terlepas dari segala
jerat iblis di dalam adat Batak, dan beribadah kepada Tuhan Yesus dalam
kebenaran dan kekudusan seumur hidupnya.
Penghancuran benteng-benteng
iblis yang ada dalam diri orang Batak akan menghasilkan saksi-saksi Kristus
yang diurapi dengan keberanian dan kuasa Roh Kudus. Sehingga pada awal abad
ke-21 ini akan bangkit orang-orang Kristen Batak yang dipakai oleh Tuhan dalam
menyelesaikan Amanat Agung-Nya, dengan melepas mereka dari genggaman kuasa
iblis. Dengan demikian kita dapat mempersiapkan bagi Tuhan suatu umat yang
layak bagi-Nya, dalam rangka menyambut kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali,
yang waktunya sudah semakin sangat dekat.
Renungan ini hanya ditujukan
kepada orang-orang yang mau mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hatinya, yang
mau dipakai-Nya dalam peperangan rohani. Yaitu, kepada mereka yang memiliki
keprihatinan rohani (sense of spiritual crisis ) terhadap nasib bangsa Batak;
kepada orang-orang yang mau mencari Kerajaan Sorga dan mau mengikut Tuhan Yesus
dengan sungguh-sungguh. Karena hanya merekalah yang mau memikul salib Kristus
sebagai konsekuensi atau harga dari ketaatan pada Injil untuk meninggalkan
upacara adat Batak.
Sumber Internet file
Tidak ada komentar:
Posting Komentar