Oleh : Roster Simanullang, M.A, M.Th
Masyarakat Batak terkenal sebagai suku yang sangat ketat
memelihara adat. Pranata kehidupan sosial orang Batak tidak pernah terlepas
dari adat, itu sebabnya ada orang mengatakan, bahwa kehidupan tidak bisa
dipisahkan dengat adat. Sejak masa kandungan, kelahiran, perkawinan sampai
kematian adat selalu mengitari. Bagi mereka yang menghiraukan adat disebut
tidak beradat, naso maradat. Bertolak belakang dibanding bila
disebut tidak beriman, ndang adong haporseaonmu. Umumnya
dihiraukan. Sikap seperti ini menunjukkan adat sangat dijungjung tinggi.
Praktek dan penerapan adat Batak tersebut tidak hanya terlihat di kampung
halaman (Bona Pasogit) saja. Juga diperantauan, sikap seperti itu juga pekat
terasa. Satu buktinya, kalau acara adar gedung-gedung pertemuan Batak akan
berjubel.
Belakangan ini kita bisa amati; paling tidak ada dua
kelompok yang sangat kontras dalam memberi respon terhadap adat. Pertama,
kelompok yang sangat mengagumi adat Batak. Bahkan menganggap seperti seolah-olah
tanpa salah. Menjungjung tinggi sebagai standar kehidupan yang benar[1]
menjadikan adat sebagai agama. Bahkan, memperlakukan adat Batak berada setara
dengan kitab suci. Kelompok ini mengacu pada pemikiran bahwa masyarakat Batak
dan adatnya sudah ada bahkan sudah bertumbuh jauh sebelum Injil masuk ke Tanah
Batak. Bahkan jauh sebelum tahun 1857 perkabaran Injil masuk ke Tanah Batah.
Kelompok kedua, kelompok yang menentang keras pelaksanaan
adat Batak, menganggap identik dengan pekerjaan setan dan occultisme. Kelompok
ini memandang seolah-olah tidak ada sesuatu yang baik didalamnya, alias
semuanya jahat[2]. Dalam kesempatan ini penulis tidak memihak kepada salah satu
kelompok yang ada. Dan bukan untuk membuat pengkotakan kelompok ketiga. Namun
bertujuan untuk menyoroti bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen terhadap
adat Batak. Dalam kajian persfektif Injil serta bagaimana kita mengaplikasikan
Iman secara nyata sebagai orang percaya sekaligus sebagai makluk sosial yang
beradat.
Pengertian adat
Kata “Adat” berasal dari kata Arab: “ada” atau
a,adaah artinya kebiasaan. Cara yang lazim, kelakuan yang telah biasa,
aturan-aturan yang lazim[3]. Dalam Bhs Ibrani “Hagag” artinya sesuatu yang
dilakukan secara berulang-ulang, bahasa Yunani “Paradosis” art: kebiasaan,
sesuatu yang lazim dilakukan oleh masyarakat. Dalam bahasa Sansekerta
“Abhaysa”art; biasa, sebagai sedia kala, kembali berulang-ulang. Atau teratur
datang kembali. Jadi, yang disebut sebagai adat istiadat adalah sesuatu yang
menjadi kebiasaan, norma yang diturun-alihkan atau kumpulan peraturan-peraturan
dan norma-norma hidup yang dianut oleh suku tertentu, tetapi tak tertulis.
Adat istiadat itu dianggap sebagai pedoman hidup secara
naturalis, mengajarkan pada sekelompok suku tertentu bagaimana seseorang harus
bertindak. Misalnya, dalam memelihara dan melindungi hubungan antara sesama
agar tata kosmos serta norma susila di masyarakat tidak dilanggar. Ada aturan,
pelanggaran terhadap adat akan mendapatkan sanksi sosial atau sanksi moral.
Wujud adat
Adat merupakan hasil karya manusia dalam mengatur
kehidupannya, serta relasi antarsesamanya agar memiliki ketertiban dan
keteraturan untuk menuju kesejahteraan bersama. Suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dalam kehidupan bermasyarakat
tertentu. Bahkan, suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari makhluk sosial
dalam masyarakat yang bersifat hukum lisan.
Keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya
manusia dalam bentuk; bahasa, tulisan, lambang, benda-benda, warna, musik,
upacara, pakaian, gerak seni dan tari, norma dan aturan, sopan santun,
hubungan kekerabatan dan perkawinan.
Adanya berbagai perbedaan pemahamanngan antara adat Batak
dengan Injil bukan merupakan persoalan yang muncul sekarang ini. Sebenarnya
sudah merupakan persoalan klasik, sejak dulu. Penulis setuju dengan pandangan
Prof Dr. Jan Aritonang dosen Sejarah Gereja STT Jakarta (guru besar) menulis:
Ketika para misionaris Jerman datang ke Tanah Batak pada mulanya mereka menilai
negatif semua budaya, adat Batak. Karena menganggap berakar dan bersumber pada
penyembahan berhala “Sipele begu.”
Orang Batak sendiri tidak pernah menyebut diri atau
agamanya sebagai Sipelebegu. Walaupun memiliki sistem religi yang menyatu
dengan budaya, berpusat pada pemujaan terhadap Debata Mulajadi Nabolon itu
jelas tidak sama dengan Debata Jahowa yang diberitakan di Alkitab[4]. Penilaian
yang negatif dan konfrontatif tadi mengakibatkan orang Batak pada masa itu
menolak Injil dan Kekristenan.
Lambat laun para utusan zending itu melakukan banyak
studi, lalu mempelajari nilai-nilai adat Batak dan melihat ada banyak hal dalam
adat Batak yang positif dan Indah. Sejak waktu itu, semakin banyak tulisan yang
memberi apresiasi terhadap adat budaya Batak. Adat bukanlah suatu hal yang tak
berubah, pengakuan oleh para Zending membawa serta pembaharuan-pembaharuan
dalam adat. Mereka mengklasifikasi adat atas ketentuan-ketentuan dan
unsur-unsur yang bersifat anti-Kristen, yang netral dan yang pro-kristen[5].
Pandangan Alkitab
Dalam Alkitab kita akan menemukan bahwa Injil tidak
konfrontatif menentang adat istiadat. Tetapi juga tidak menerima semua hal yang
terdapat dalam adat. Sorotan Alkitab mengenai adat, ada yang positif dan ada
yang negatif. Ada begitu banyak studi kasus yang bisa digali di dalam Alkitab.
Adat yang positif misalnya, keturunan Lamekh bernama Yabal; ahli membuat tenda,
dan memelihara ternak; Yubal adeknya ahli memainkan kecapi dan seruling
(Kejadian 4:20-21) demikian juga Daud adalah orang yang ahli memainkan kecapi.
Kreatifitas membuat tenda, beternak serta keahlian memainkan seruling dan
kecapi adalah bagian dari peradaban manusia, seni budaya pada masa itu.
Hakim-Hakim 18:7 misalnya, dapat dilihat. Merekalah,
bahwa rakyat yang diam di sana hidup dengan tenteram. Menurut adat orang Sidon,
aman dan tenteram. Bani Dan menemukan rakyat Lais daerah wilayah Efraim, hidup
dalam damai menurut adat Sidon. Dalam Perjanjian Baru Yesus menghadiri pesta
pernikahan di Kana sesuai adat istiadat Yahudi (Yohanes 2:1-11). Yesus disunat
sesuai hukum adat Yahudi (Lukas 2:21-40) berpakaian sesuai adat Yahudi,
dikuburkan sesuai adat istiadat Yahudi (Matius 19:40).
Rasul Paulus juga menyaksikan keterlibatannya dalam adat
istiadat Yahudi (Galatia 1:140 ”Dan didalam agama Yahudi aku jauh lebih maju
dari banyak teman yang sebaya dengan aku diantara bangsaku, sebagai orang yang
sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku.” Tetapi juga menasihatkan
kepada Jemaat Kolose 2:8 agar jangan ditawan dengan filsafat kosong dan palsu menurut
“ajaran turun temurun ”Paradosis” (adat), dan roh-roh dunia. Tetapi tidak
menurut Kristus. Sekalipun setelah pertobatannya, Rasul Paulus tidak memiliki
semangat dan motivasi yang sama terhadap adat istiadat.
Namun tidak terlihat ia menolak ataupun meninggalkan adat
tersebut. Sebaliknya dalam usahanya memberitakan Injil Kristus dia berusaha
mengadaptasi dirinya dengan adat lingkungannya seperti yang tertulis dalam 1
Korintus 9:19-23; berulang-ulang ia berkata: ia ingin..ia ingin..ia ingin; ia
menjadi seperti..ia menjadi seperti (5X) tujuannya ialah untuk memenangkan
sebanyak mungkin orang, ia menyesuaikan diri dengan adat setempat. Ia peka
terhadap adat setempat supaya injil tetap relevan tapi tunduk, hidup dibawah
hukum Kristus, supaya injil yang disampaikan itu tetap murni. Segala sesuatu
ini aku lakukan karena Injil. Paulus memakai sarana adat sebagai pendekatan
untuk mencapai Injil sebagai tujuan.
Adat yang Negatif. Alkitab memperlihatkan ada adat
kebiasaan yang ditentang oleh Allah mis: Kitab 2 Raja-raja 17:7-8 ”Hal itu
terjadi karena Israel telah berdosa kepada Tuhan, Allah mereka, yang telah
menuntun mereka dari tanah Mesir dari kekuasaan Firaun, raja Mesir, dan karena
mereka telah menyembah allah lain, dan telah hidup menurut adat istiadat bangsa-bangsa
yang telah dihalau Tuhan dari depan orang Israel, dan menurut ketetapan yang
dibuat raja-raja Israel. Dalam Perjanjian Baru kita membaca Yesus sering
menegor orang-orang Yahudi yang hidup secara Legalistik dalam pelaksanaan adat
istiadat; Mis Lukas 7:9.” Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah,
supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri.”
Dari padangan Alkitab itu kita bisa mengklasifikasikan
Adat dalam tiga dimensi yaitu: Pertama, adat yang bertentangan
dengan Injil, misalnya: Poligami, upacara mendoakan orang mati, praktek-praktek
spiritisme(pemujaan terhadap arwah orang mati), ocultisme, animisme dan
dynamisme. Bertenung dan meramal (Ulangan 18:9-12). Kedua, adat
yang Netral artinya tidak dilarang tapi juga tidak di anjurkan misalnya: cara
berpakaian (Ulos), sopan santun, etika sopan santun, cara makan-cara duduk,
cara bersalaman. Ketiga, adat yang sejalan dengan ajaran Alkitab,
misalnya: Hormat kepada orangtua (Keluaran 20:12), tidak boleh menikah dengan
saudara kandung /semarga (Imamat 20:17), tidak boleh berjinah (Ulangan 22:22),
tidak boleh mencuri, isteri hormat kepada suami (Efesus 5:22), peraturan
pergaulan laki-laki dan wanita, hubungan seks pra-nikah(Efesus 5:3-5), memberi
sedekah/peduli dengan orang miskin (Matius 25:31-46), sifat gotong royong,
bertolong-tolongan menanggung beban (Galatia 6:2).
Lalu, bagaimana sikap kita terhadap Adat Batak. Usulan
penulis. Pertma, manusia adalah ciptaan Allah yang Agung dan kreatif, makhluk
sosial yang beradat&berbudaya, namun manusia telah jatuh kedalam dosa
sehingga adat yang merupakan karya cipta manusia juga dirusak oleh dosa
akibatnya adat mengandung dimensi Ilahi dan setani, karenanya membutuhkan
pembaharuan melalui karya Kristus sehingga menjadi kebaikan bagi sesama dan
alat pemuliaan bagi Allah. Kedua, jangan menjungjung tinggi adat melebihi Injil
atau menempatkan adat setara dengan Injil, tetapi menjadikan adat diterangi
oleh Injil.
Mampu mengidentifikasikan diri dengan lingkungan tetapi
juga hidup yang berpadanan dengan Injil Kristus(Filipi 1:27). Selanjutnya,
orang percaya harus bersifat selektif, tidak serta merta menolak adat tersebut
atau menerima semuanya walaupun bertentangan dengan injil. Sejauh mana kita
mampu menghayati adat dan ungkapan secara mendalam dan mendasar, bukan sekedar
kulit luarnya, sekaligus memajukan dan meningkatkan kualitas iman. Untuk
menjadi selektif dengan adat. Maka dibutuhkan kualitas rohani yang semakin
dewasa dalam Kristus dan kemampuan memahami Alkitab.
Kita dituntut memahami Alkitab dengan benar dan memahami
adat dengan benar. Terjadinya pertentangan antara pelaku adat dan injil
disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap salah satu atau kedua hal
tersebut sehingga memberi penilaian yang sempit, dangkal dan berat sebelah.
Kristen sejati mampu mengungkapkan iman secara nyata dalam kehidupan nyata di
tengah-tengah masyarakat dan pergaulan sosial tanpa harus mengorbankan
kemurnian iman yang dianut, dengan kata lain iman Kristen harus meresap didalam
adat bukan adat diimani, adat dijadikan sebagai agama. Jadilah orang
Batak yang diKristen-kan bukan Kristen yang diBatak-kan.
Terakhir, adat memiliki keindahan dan kebaikannya tapi
juga kelemahan. Injil tidak menganggap adat yang satu lebih unggul dari adat
yang lain, masing-masing adat menetapkan ukuran kebenaran dan keadilannya
sendiri. Adat harus tunduk kepada Injil. Kita harus secara aktif, kreatif,
konstruktif serta terus menerus membaharui adat Batak agar tetap relevan dengan
zaman dan lingkungan. Adat bukan suatu hal yang tidak bisa berubah tapi sesuatu
yang dinamis. Unsur-unsur adat yang sifatnya netral dan tidak bertentangan
dengan iman tetap dipertahankan, tetapi unsur yang tidak sesuai dengan Firman
Allah harus di rubah atau tinggalkan. Mari waspada. Kewaspadaan agar jangan
sampai terpengaruh kepada kebutaan rohani, menjadikan adat sebagai agama, yang
bersifat serimonial legalistik. Adat harus menjadi sarana membangun hubungan
pribadi antara sesama manusia dan Allah.
Pustaka:
[1] Penulis pernah berdialog dengan salah seorang tokoh
Adat batak di Bona Pasogit (Op.Sara Purba) berkata: “Bangso na istimewa do
ianggo halak Batak dilehon Debata do Adat na tung mansai uli, denggan, lengkap,
pature-ture parngoluon ni hita Batak siganup ari na sesuai tu hatani Tuhani”.
Juga A.Juara Manullang Tokoh Adat Batak di Jakarta, pada satu acara seminar di
Tebet berkata”Adat ido mambahen denggan halak Batak”. Beberapa penulis buku
mengenai adat Batak al; Richard Sinaga dkk, Adat Budaya Batak dan Kekristenan,
(Dian Utama Jakarta 2000), Doangsa P.L.Situmeang, Dalihan Natolu Sistem Sosial
Kemasyarakatan Batak Toba,(Kerabat, Dian Utama Jakarta 2007). HP.Panggabean,
Pembinaan Nilai-nilai Budaya Batak Dalihan Natolu,(Kerabat Dian Utama Jakarta
2007). Beberapa buku tsb lebih memberi tekanan nilai adat dibandingkan ajaran
Injil.
[2] Beberapa buku yang secara frontal menolak pelaksanaan
Adat Batak misalnya: Henry James Silalahi, Pandangan Injil Terhadap Upacara
Adat Batak (Pelayanan Missi Kristus 2005),O.P.Simorangkir, Berhala,Adat
Istiadat dan Agama (yayasan Lobu Harambir Jakarta 2006).AH Parhusip, Jorbut ni
Adat Batak Hasipele beguon,(GSJA Pemenang Porsea). Memandang bahwa dalam adat
tidak ada yang baik semua mengandung unsur setani (unsur hasipelebeguon).
[3] J.Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 2002, hal 63
[4] Richard Sinaga, Adat Budaya Batak dan Kekristenan,
Dian Utama Jakarta, 2000 hal 16
[5]
Lothar Schreiner, Adat dan Injil, Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah
Batak, Jakarta, BPK G.Mulia,1996,h 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar