Minggu, 07 Oktober 2018

ADAT BATAK DALAM PERSPEKTIF INJIL


Oleh : Roster Simanullang, M.A, M.Th 
Masyarakat Batak terkenal sebagai suku yang sangat ketat memelihara adat. Pranata kehidupan sosial orang Batak tidak pernah terlepas dari adat, itu sebabnya ada orang mengatakan, bahwa kehidupan tidak bisa dipisahkan dengat adat. Sejak masa kandungan, kelahiran, perkawinan sampai kematian adat selalu mengitari. Bagi mereka yang menghiraukan adat disebut tidak beradat, naso maradat. Bertolak belakang dibanding bila disebut tidak beriman, ndang adong haporseaonmu. Umumnya dihiraukan. Sikap seperti ini menunjukkan adat sangat dijungjung tinggi. Praktek dan penerapan adat Batak tersebut tidak hanya terlihat di kampung halaman (Bona Pasogit) saja. Juga diperantauan, sikap seperti itu juga pekat terasa. Satu buktinya, kalau acara adar gedung-gedung pertemuan Batak akan berjubel.
Belakangan ini kita bisa amati; paling tidak ada dua kelompok yang sangat kontras dalam memberi respon terhadap adat. Pertama, kelompok yang sangat mengagumi adat Batak. Bahkan menganggap seperti seolah-olah tanpa salah. Menjungjung tinggi sebagai standar kehidupan yang benar[1] menjadikan adat sebagai agama. Bahkan, memperlakukan adat Batak berada setara dengan kitab suci. Kelompok ini mengacu pada pemikiran bahwa masyarakat Batak dan adatnya sudah ada bahkan sudah bertumbuh jauh sebelum Injil masuk ke Tanah Batak. Bahkan jauh sebelum tahun 1857 perkabaran Injil masuk ke Tanah Batah. 
Kelompok kedua, kelompok yang menentang keras pelaksanaan adat Batak, menganggap identik dengan pekerjaan setan dan occultisme. Kelompok ini memandang seolah-olah tidak ada sesuatu yang baik didalamnya, alias semuanya jahat[2]. Dalam kesempatan ini penulis tidak memihak kepada salah satu kelompok yang ada. Dan bukan untuk membuat pengkotakan kelompok ketiga. Namun bertujuan untuk menyoroti bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen terhadap adat Batak. Dalam kajian persfektif Injil serta bagaimana kita mengaplikasikan Iman secara nyata sebagai orang percaya sekaligus sebagai makluk sosial yang beradat. 
Pengertian adat 
Kata “Adat” berasal dari kata Arab: “ada” atau  a,adaah artinya kebiasaan. Cara yang lazim, kelakuan yang telah biasa, aturan-aturan yang lazim[3]. Dalam Bhs Ibrani “Hagag” artinya sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang, bahasa Yunani “Paradosis” art: kebiasaan, sesuatu yang lazim dilakukan oleh masyarakat. Dalam bahasa Sansekerta “Abhaysa”art; biasa, sebagai sedia kala, kembali berulang-ulang. Atau teratur datang kembali. Jadi, yang disebut sebagai adat istiadat adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan, norma yang diturun-alihkan atau kumpulan peraturan-peraturan dan norma-norma hidup yang dianut oleh suku tertentu, tetapi tak tertulis.

Adat istiadat itu dianggap sebagai pedoman hidup secara naturalis, mengajarkan pada sekelompok suku tertentu bagaimana seseorang harus bertindak. Misalnya, dalam memelihara dan melindungi hubungan antara sesama agar tata kosmos serta norma susila di masyarakat tidak dilanggar. Ada aturan, pelanggaran terhadap adat akan mendapatkan sanksi sosial atau sanksi moral. 
Wujud adat 
Adat merupakan hasil karya manusia dalam mengatur kehidupannya, serta relasi antarsesamanya agar memiliki ketertiban dan keteraturan untuk menuju kesejahteraan bersama. Suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dalam kehidupan bermasyarakat tertentu. Bahkan, suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari makhluk sosial dalam masyarakat yang bersifat hukum lisan. 
Keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya manusia dalam bentuk; bahasa, tulisan, lambang, benda-benda, warna, musik, upacara, pakaian, gerak seni dan tari, norma dan aturan,  sopan santun, hubungan kekerabatan dan perkawinan. 
Adanya berbagai perbedaan pemahamanngan antara adat Batak dengan Injil bukan merupakan persoalan yang muncul sekarang ini. Sebenarnya sudah merupakan persoalan klasik, sejak dulu. Penulis setuju dengan pandangan Prof Dr. Jan Aritonang dosen Sejarah Gereja STT Jakarta (guru besar) menulis: Ketika para misionaris Jerman datang ke Tanah Batak pada mulanya mereka menilai negatif semua budaya, adat Batak. Karena menganggap berakar dan bersumber pada penyembahan berhala “Sipele begu.” 
Orang Batak sendiri tidak pernah menyebut diri atau agamanya sebagai Sipelebegu. Walaupun memiliki sistem religi yang menyatu dengan budaya, berpusat pada pemujaan terhadap Debata Mulajadi Nabolon itu jelas tidak sama dengan Debata Jahowa yang diberitakan di Alkitab[4]. Penilaian yang negatif dan konfrontatif tadi mengakibatkan orang Batak pada masa itu menolak Injil dan Kekristenan. 
Lambat laun para utusan zending itu melakukan banyak studi, lalu mempelajari nilai-nilai adat Batak dan melihat ada banyak hal dalam adat Batak yang positif dan Indah. Sejak waktu itu, semakin banyak tulisan yang memberi apresiasi terhadap adat budaya Batak. Adat bukanlah suatu hal yang tak berubah, pengakuan oleh para Zending membawa serta pembaharuan-pembaharuan dalam adat. Mereka mengklasifikasi adat atas ketentuan-ketentuan dan unsur-unsur yang bersifat anti-Kristen, yang netral dan yang pro-kristen[5]. 
Pandangan Alkitab 
Dalam Alkitab kita akan menemukan bahwa Injil tidak konfrontatif menentang adat istiadat. Tetapi juga tidak menerima semua hal yang terdapat dalam adat. Sorotan Alkitab mengenai adat, ada yang positif dan ada yang negatif. Ada begitu banyak studi kasus yang bisa digali di dalam Alkitab. Adat yang positif misalnya, keturunan Lamekh bernama Yabal; ahli membuat tenda, dan memelihara ternak; Yubal adeknya ahli memainkan kecapi dan seruling (Kejadian 4:20-21) demikian juga Daud adalah orang yang ahli memainkan kecapi. Kreatifitas membuat tenda, beternak serta keahlian memainkan seruling dan kecapi adalah bagian dari peradaban manusia, seni budaya pada masa itu. 
Hakim-Hakim 18:7 misalnya, dapat dilihat. Merekalah, bahwa rakyat yang diam di sana hidup dengan tenteram. Menurut adat orang Sidon, aman dan tenteram. Bani Dan menemukan rakyat Lais daerah wilayah Efraim, hidup dalam damai menurut adat Sidon. Dalam Perjanjian Baru Yesus menghadiri pesta pernikahan di Kana sesuai adat istiadat Yahudi (Yohanes 2:1-11). Yesus disunat sesuai hukum adat Yahudi (Lukas 2:21-40) berpakaian sesuai adat Yahudi, dikuburkan sesuai adat istiadat Yahudi (Matius 19:40).
Rasul Paulus juga menyaksikan keterlibatannya dalam adat istiadat Yahudi (Galatia 1:140 ”Dan didalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku diantara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku.” Tetapi juga menasihatkan kepada Jemaat Kolose 2:8 agar jangan ditawan dengan filsafat kosong dan palsu menurut “ajaran turun temurun ”Paradosis” (adat), dan roh-roh dunia. Tetapi tidak menurut Kristus. Sekalipun setelah pertobatannya, Rasul Paulus tidak memiliki semangat dan motivasi yang sama terhadap adat istiadat.
Namun tidak terlihat ia menolak ataupun meninggalkan adat tersebut. Sebaliknya dalam usahanya memberitakan Injil Kristus dia berusaha mengadaptasi dirinya dengan adat lingkungannya seperti yang tertulis dalam 1 Korintus 9:19-23; berulang-ulang ia berkata: ia ingin..ia ingin..ia ingin; ia menjadi seperti..ia menjadi seperti (5X) tujuannya ialah untuk memenangkan sebanyak mungkin orang, ia menyesuaikan diri dengan adat setempat. Ia peka terhadap adat setempat supaya injil tetap relevan tapi tunduk, hidup dibawah hukum Kristus, supaya injil yang disampaikan itu tetap murni. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil. Paulus memakai sarana adat sebagai pendekatan untuk mencapai  Injil sebagai tujuan. 
Adat yang Negatif. Alkitab memperlihatkan ada adat kebiasaan yang ditentang oleh Allah mis: Kitab 2 Raja-raja 17:7-8 ”Hal itu terjadi karena Israel telah berdosa kepada Tuhan, Allah mereka, yang telah menuntun mereka dari tanah Mesir dari kekuasaan Firaun, raja Mesir, dan karena mereka telah menyembah allah lain, dan telah hidup menurut adat istiadat bangsa-bangsa yang telah dihalau Tuhan dari depan orang Israel, dan menurut ketetapan yang dibuat raja-raja Israel. Dalam Perjanjian Baru kita membaca Yesus sering menegor orang-orang Yahudi yang hidup secara Legalistik dalam pelaksanaan adat istiadat; Mis Lukas 7:9.” Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri.” 
Dari padangan Alkitab itu kita bisa mengklasifikasikan Adat dalam tiga dimensi yaitu: Pertama, adat yang bertentangan dengan Injil, misalnya: Poligami, upacara mendoakan orang mati, praktek-praktek spiritisme(pemujaan terhadap arwah orang mati), ocultisme, animisme dan dynamisme. Bertenung dan meramal (Ulangan 18:9-12). Kedua, adat yang Netral artinya tidak dilarang tapi juga tidak di anjurkan misalnya: cara berpakaian (Ulos), sopan santun, etika sopan santun, cara makan-cara duduk, cara bersalaman. Ketiga, adat yang sejalan dengan ajaran Alkitab, misalnya: Hormat kepada orangtua (Keluaran 20:12), tidak boleh menikah dengan saudara kandung /semarga (Imamat 20:17), tidak boleh berjinah (Ulangan 22:22), tidak boleh mencuri, isteri hormat kepada suami (Efesus 5:22), peraturan pergaulan laki-laki dan wanita, hubungan seks pra-nikah(Efesus 5:3-5), memberi sedekah/peduli dengan orang miskin (Matius 25:31-46), sifat gotong royong, bertolong-tolongan menanggung beban (Galatia 6:2). 
Lalu, bagaimana sikap kita terhadap Adat Batak. Usulan penulis. Pertma, manusia adalah ciptaan Allah yang Agung dan kreatif, makhluk sosial yang beradat&berbudaya, namun manusia telah jatuh kedalam dosa sehingga adat yang merupakan karya cipta manusia juga dirusak oleh dosa akibatnya adat mengandung dimensi Ilahi dan setani, karenanya membutuhkan pembaharuan melalui karya Kristus sehingga menjadi kebaikan bagi sesama dan alat pemuliaan bagi Allah. Kedua, jangan menjungjung tinggi adat melebihi Injil atau menempatkan adat setara dengan Injil, tetapi menjadikan adat diterangi oleh Injil.
 Adat tidak mampu membaharui hidup tetapi Injil membaharui seluruh tata tertib kehidupan. Alkitab adalah satu-satunya standard moral, etika dan pengajaran, tidak boleh menjadikan adat lebih unggul daripada injil. Kalau adat tidak dibaharui dalam Injil maka adat itu membawa perhambaan dan keretakan (jangan melanggar perintah Allah demi adat istiadat, Matius 15:3). Ketiga, setiap orang percaya harus mampu mendemostrasikan kasih dalam kebersamaan terhadap sesama (“parsaoran tu dongan jolma), serta semangat keterbukaan diri, ketulusan, menerima sesame. Sebaliknya menolak sesama atau memisahkan diri dari sesama bertentangan dengan kasih Kristiani dan semangat inkarnasi Kristus.
Mampu mengidentifikasikan diri dengan lingkungan tetapi juga hidup yang berpadanan dengan Injil Kristus(Filipi 1:27). Selanjutnya, orang percaya harus bersifat selektif, tidak serta merta menolak adat tersebut atau menerima semuanya walaupun bertentangan dengan injil. Sejauh mana kita mampu menghayati adat dan ungkapan secara mendalam dan mendasar, bukan sekedar kulit luarnya, sekaligus memajukan dan meningkatkan kualitas iman. Untuk menjadi selektif dengan adat. Maka dibutuhkan kualitas rohani yang semakin dewasa dalam Kristus dan kemampuan memahami Alkitab.
Kita dituntut memahami Alkitab dengan benar dan memahami adat dengan benar. Terjadinya pertentangan antara pelaku adat dan injil disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap salah satu atau kedua hal tersebut sehingga memberi penilaian yang sempit, dangkal dan berat sebelah. Kristen sejati mampu mengungkapkan iman secara nyata dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat dan pergaulan sosial tanpa harus mengorbankan kemurnian iman yang dianut, dengan kata lain iman Kristen harus meresap didalam adat bukan adat diimani, adat dijadikan sebagai agama. Jadilah  orang Batak yang diKristen-kan bukan Kristen yang diBatak-kan. 
Terakhir, adat memiliki keindahan dan kebaikannya tapi juga kelemahan. Injil tidak menganggap adat yang satu lebih unggul dari adat yang lain, masing-masing adat menetapkan ukuran kebenaran dan keadilannya sendiri. Adat harus tunduk kepada Injil. Kita harus secara aktif, kreatif, konstruktif serta terus menerus membaharui adat Batak agar tetap relevan dengan zaman dan lingkungan. Adat bukan suatu hal yang tidak bisa berubah tapi sesuatu yang dinamis. Unsur-unsur adat yang sifatnya netral dan tidak bertentangan dengan iman tetap dipertahankan, tetapi unsur yang tidak sesuai dengan Firman Allah harus di rubah atau tinggalkan. Mari waspada. Kewaspadaan agar jangan sampai terpengaruh kepada kebutaan rohani, menjadikan adat sebagai agama, yang bersifat serimonial legalistik. Adat harus menjadi sarana membangun hubungan pribadi antara sesama manusia dan Allah.
Pustaka: 
[1] Penulis pernah berdialog dengan salah seorang tokoh Adat batak di Bona Pasogit (Op.Sara Purba) berkata: “Bangso na istimewa do ianggo halak Batak dilehon Debata do Adat na tung mansai uli, denggan, lengkap, pature-ture parngoluon ni hita Batak siganup ari na sesuai tu hatani Tuhani”. Juga A.Juara Manullang Tokoh Adat Batak di Jakarta, pada satu acara seminar di Tebet berkata”Adat ido mambahen denggan halak Batak”. Beberapa penulis buku mengenai adat Batak al; Richard Sinaga dkk, Adat Budaya Batak dan Kekristenan, (Dian Utama Jakarta 2000), Doangsa P.L.Situmeang, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba,(Kerabat, Dian Utama Jakarta 2007). HP.Panggabean, Pembinaan Nilai-nilai Budaya Batak Dalihan Natolu,(Kerabat Dian Utama Jakarta 2007). Beberapa buku tsb lebih memberi tekanan nilai adat dibandingkan ajaran Injil. 
[2] Beberapa buku yang secara frontal menolak pelaksanaan Adat Batak misalnya: Henry James Silalahi, Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak (Pelayanan Missi Kristus 2005),O.P.Simorangkir, Berhala,Adat Istiadat dan Agama (yayasan Lobu Harambir Jakarta 2006).AH Parhusip, Jorbut ni Adat Batak Hasipele beguon,(GSJA Pemenang Porsea). Memandang bahwa dalam adat tidak ada yang baik semua mengandung unsur setani (unsur hasipelebeguon). 
[3] J.Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002, hal 63
[4] Richard Sinaga, Adat Budaya Batak dan Kekristenan, Dian Utama Jakarta, 2000 hal 16 
[5] Lothar Schreiner, Adat dan Injil, Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta, BPK G.Mulia,1996,h 5.

Tidak ada komentar:

8 NASIHAT UNTUK PARA SUAMI

 8 NASIHAT UNTUK PARA SUAMI “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya...