Pertempuran Melawan Moab
“Lalu berkatalah raja Israel: “Wahai TUHAN
telah memanggil ketiga raja ini untuk menyerahkan mereka ke dalam tangan Moab!’
Tetapi bertanyalah Yosafat: Tidak adakah di sini seorang nabi TUHAN, supaya
dengan perantaraannya kita meminta petunjuk TUHAN?” (2 Raja-raja 3: 10, 11).
Mesa, raja Moab, telah menjadi sekutu raja Israel, Ahab. Setiap
tahun ia harus membayar upeti kepada Israel berupa 100.000 anak domba dan bulu
dari 100.000 domba jantan (2 Raj. 3:4). Jumlah sebanyak itu tentunya sangat
membebani kondisi keuangan negaranya.
Begitu Ahab mati dan digantikan oleh Yoram anaknya, Mesa pun
melancarkan pemberontakan dan membatalkan perjanjian yang memberatkannya itu.
Maka Yoram pun meminta bantuan militer kepada Yosafat, raja Yehuda, dan juga
kepada raja Edom. Tentu saja persekutuan tiga Negara ini sangat rapuh mengingat
hubungan mereka yang kurang harmonis.
Selama tujuh hari tentara gabungan menyerang Moab, tapi mereka
kehabisan “air untuk tentara dan untuk hewan yang mengikuti mereka”
(ay.9). situasi ini berubah menjadi bencana dan seluruh bala tentara itu segera
menjadi seperti barisan mayat hidup yang berjalan di teri matahari Timur
Tengah.
Menghadapi situasi mengerikan ini. Raja Yoram berkata, “Wahai
TUHAN telah memanggil ketiga raja ini untuk menyerahkan mereka ke dalam tangan
Moab!” (ay.10). kata-katanya terdengar saleh, seolah-olah dia berkata, “Ini
adalah kehendak Allah.” Tetapi teologi seperti itu di satu pihak terdengar
Calvinistis, tapi di lain pihak fatalistis. Ia menganggap apa pun yang
terjadi – baik, buruk, netral – adalah apa yang telah diatur oleh Allah sejak
kekekalan. Tapi apakah semuanya melulu kehendak Allah? Apakah Ia menghendaki
hilangnya 10 hingga 20 hektar hutan tropis setiap menitnya? Pelecehan
yang dialami dua puluh lima persen anak perempuan? Angin topan, tornado, dan
tsunami yang meluluhlantakkan planet ini? Dua puluh ribu hingga 40.000 orang
mati kelaparan setiap harinya? Sembilan puluh delapan ribu pasien yang mati
setiap tahun karena malpraktik?
Dari pada menganggap semua kejadian sebagai kehendak Allah, lebih
baik kiranya bersikap seperti Yosafat yang memiliki cara pandang positif. Ia
merasa sudah waktunya berpaling kepada Allah. “Tidak adakah di sini seorang
nabi TUHAN, supaya dengan perantaraannya kita meminta petunjuk TUHAN? “ (ay.
11).
Tentu saja saat ini tidak ada nabi yang tinggal di sekitar kita,
tapi kita dapat menyelidiki nasihat tertulis dari Allah. Dan pasti banyak cara
untuk melangkah sesuai dengan kehendak-Nya, meski hal itu tidak selalu dapat
kita mengerti dengan gamblang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar