Apakah Allah Menyesal?
“Lagi Sang Mulia dari Israel tidak berdusta
dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal” (1
Samuel 15:29).
Raja Saul yang nampak rendah hati di awal pemerintahannnya, segera
melupakan tuntunan Tuhan. Contohnya, ketika ia berperang melawan orang Amalek,
Samuel telah memerintahkan dengan jelas untuk membunuh segala yang hidup. Namun
Saul tidak membunuh Raja Agag bersama dengan kawanan ternak terbaik. Ketika
Samuel menegurnya, sang raja membual bahwa para prajuritnyalah yang tidak
patuh. Samuel menyatakan bahwa kedudukan raja akan diserahkan kepada orang
lain.
Dalam percakapan tersebut Samuel mengutarakan perkataan yang
dicatat dalam Kitab Suci, yang hingga hari ini menjadi teks andalan bagi para
teolog yang berpendapat bahwa segala yang terjadi di masa depan telah
pasti. Namun akal sehat kita mempertanyakan mengapa dalam kenyataannya, masa
depan tidaklah pasti.
Para pendukung predestinasi meyakinkan kita bahwa masa depan
adalah pasti karena Allah yang berdaulat telah mengaturnya secara terperinci.
Dengan segala cara, kehendak Allah yang mengatur setiap kejadian – di masa
lalu, sekarang, dan yang akan datang. Lalu di manakah, kalau begitu, kehendak
bebas manusia? Tidak ada. Orang bertindak begini atau begitu karena Allah telah
menentukannya sejak semula bagaimana mereka akan bertindak.. Manusia hanya
merasa bahwa mereka bebas menentukan pilihan, namun itu hanyalah perasaan dan
tidak sesuai dengan kenyataan.
Mereka yang menolak predestinasi mengemukakan bahwa meskipun Allah
tidak menentukan dari semula apa yang akan terjadi, dalam kemahatahuan-Nya, Ia
telah mengetahui dengan lengkap dan terperinci apa yang akan terjadi. Jadi masa
depan sudah pasti. Manusia memiliki kehendak bebas, tetapi Allah telah
mengetahui apa yang akan mereka pilih. Jadi, kehendak bebas atau bukan, masa
depan telah pasti – apakah (1) karena Allah telah mengaturnya sejak kekekalan
atau (2) karena Ia telah mengetahuinya sejak kekekalan pula.
Ada masalah di sini, walaupun, dengan penggunaan 1 Samuel 15:29
sebagai teks andalan, di dalam narasi yang sama – sebelum dan sesudah ayat ini
– ditujukkan bahwa Allah dapat mengubah pikiran-Nya: “Aku menyesal karena Aku
telah menjadikan Saul raja” (ay. 11) dan TUHAN menyesal, karena Ia menjadikan
Saul raja atas Israel” (ay. 35).
Dan ini bukanlah kejadian satu-satunya. Alkitab penuh dengan
petunjuk yang jelas bahwa tidaklah terpenjara oleh kedaulatan kehendak-Nya
atau pun oleh kemahatahuan-Nya. Ia bebas menyesuaikan sikap-Nya ketika
makhluk ciptaan-Nya menggunakan kehendak bebas yang Ia karuniakan bagi
mereka. Namun ada yang tidak berubah, yaitu kehendak-Nya untuk memperbaiki dan
menyelamatkan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar