Keluarga Raja Daud
“Semuanya itu anak-anak Daud, belum
terhitung anak-anak dari gundik-gundik” (1 Tawarikh 3:9).
Sungguh bacaan yang aneh untuk sebuah renungan pagi! Tetapi teks
ini ada di Alkitab. Bagaimana menurut Anda? Apakah memang beberapa bagian
Alkitab tidak cocok untuk saat teduh? Mungkin saja demikian. Tetapi bisa jadi
kita menemukan potret kasih Allah yang lain di sini untuk mengisi album potret
yang sudah kita dapat dari Daud… dan yang lainnya.
Bukan rahasia lagi (meski mungkin mengejutkan bagi anak-anak
bahwa Daud memiliki banyak istri dan gundik, begitu pula tokoh-tokoh Alkitab
lainnya. Apakah yang harus kita perbuat dengan data yang anomaly (bagi kita)
ini?
Tradisi keluarga pada zaman Alkitab (ingat bahwa budaya Timur
Dekat sangat berbeda dengan cara hidup orang Barat) sering mengagetkan – bahwa
membuat kita terperanjat. Mereka bisa menganggap kaum kaum wanita sebagai
harta benda, bukan sebagai manusia. Bahkan dalam Sepuluh Firman, diucapkan dan
kemudian ditulis oleh Allah sendiri, seorang istri disebut dalam satu tarikan
napas bersama dengan rumah, lembu, keledai, budak, dan harta milik lainnya (Kel.
20:17). (Bahkan ada beberapa bukti dalam beberapa kebudayaan yang
memandang wanita sebagai makhluk yang berbeda dari pria!).
Selain itu, dalam masyarakat Israel kuno (di Mesir misalnya)
pernikahan yang ideal adalah antara kerabat terdekat – terutama antar sepupu,
atau bahkan saudara tiri. Dan memiliki banyak istri bukan hal luar biasa.
Selain itu, budak perempuan dapat menjadi kekasih majikannya sehingga
naik statusnya menjadi lebih tinggi daripada pembantu rumah tangga lainnya
tetapi naik dengan hak-hak yang lebih sedikit dibandingkan istri-istri utama.
Para istri level kedua ini disebut gundik. Kebiasaan yang aneh (bagi kita)
lainnya adalah “perkawinan turun ranjang” (dalam bahasa Inggris disebut Levirate
Marriage, istilah yang tidak ada kaitannya dengan suku Lewi). Lembaga ini,
yang masih berlaku dalam beberapa masyarakat adat, mengharuskan seorang pria
untuk mengawini istri adik/kakaknya yang belum memiliki anak saat suaminya
meninggal.
Begitulah Daud membentuk sebuah keluarga yang berbeda dari keluarga
masa kini. Meskipun demikian, Samuel menyebutnya bahwa bagi TUHAN ia adalah
“seorang yang berkenan di hati-Nya” (1 Sam. 13:14). (Abraham, yang keluarga nya
juga berbeda dengan keluarga kita saat ini, disebut sebagai “Sahabat Allah” dan
“yang Kukasihi” [Yak. 2:23; Yes 41:8]. Syukur kepada Allah yang menerima siapa
kita, apa adanya, di mana pun kita berada. Ia dapat menggunakan kita bila
kita membuka diri pada bimbingan-Nya dan mengabdi kepada-Nya. Allah lebih besar
daripada budaya manusia dan dapat bekerja di dalamnya sambil juga mengubahnya.