Sifat Dosa
“Kuberikan tempatmu
dekat kerub yang berjaga, di gunung kudus Allah engkau berada dan
berjalan-jalan di tengah batu-batu yang bercahay-cahaya. Engkau tak bercela di
dalam tingkah lakumu sejak hari penciptaanmu sampai terdapat kecurangan padamu”
(Yehezkiel 28:14, 15)
Kehadiran dosa
menjelaskan mengapa kita diasingkan dari Allah. Tetapi bagaimana kita
menjelaskan keberadaan dosa? Kebenarannya adalah, kita tidak bisa. Sejauh ini,
inilah yang kita tahu. Tuhan tidak menciptakan dosa; dosa adalah virus yang asing
yang diperkenalkan setan kepada planet kita, nakhluk yang di dalamnya ditemukan
dosa. Dia adalah pencetus pelanggaran. Indikasi yang paling jelas mengenai apa
yang terjadi kepada malaikat yang murtad dinyatakan dalam deskripsi Yesaya
proklamasi sebelum kejatuhannya: “Aku hendak naik… aku hendak mendirikan
takhtaku…, aku hendak duduk… hendak menyamai Yang Mahatinggi!” (Yes 14:13, 14).
Hasilnya? Lusifer
bergumul dengan dirinya sendiri. Kita tidak tahu bagaimana atau mengapa. Yang
jelas, kecemburuan terhadap Kristus, Anak Allah, bertumbuh dalam dirinya yang
merupakan makhluk yang sempurna dan semakin memburuk dan semakin meluas dan
meledak menjadi pemberontakan terbuka.
Tindakan Lusifer, secara
bervariasi digambarkan oleh para teolog sebagai keegoisan, kesombongan, tidak
tahu berterima kasih, tidak menghargai, hawa nafsu, penyembahan berhala,
kedurhakaan, pengkhianatan, pemberontakan, kegagalan, dan yang tidak mengenai
sasaran adalah, tentu saja, pembelotan yang sesungguhnya. H. Richard Neibuhr,
dalam bukunya The Kingdom of God in America, memberikan lebel pada dosa
sebagai “ketidaksetiaan kepada kasih (hlm. 105). Dia benar; dosa bukan hanya
tidak adanya kesetiaan kepada Allah yang benar, dosa adalah kesetiaan kepada
seseorang atau sesuatu yang lain. Pada intinya, dosa adalah kasih yang salah
arah; itu adalah kasih sayang yang asing. Yakni tunduk di hadapan allah
lain, suatu tindakan yang mungkin haya ketika, untuk alasan apa pun, kita
menghargai pendapat dan kesimpulan kita lebih tinggi daipada Firman Allah –
kepuasan pribadi kita di atas perintah-Nya yang objektif.
Pemikiran kita yang
sederhana tidak bisa menjelaskan bagaimana makhluk, terutama yang dikelilingi
kerub, bisa berani menuntun kesetaraan dengan Pencipta – tetapi Lusifer
melakukannya. Dan demikian juga kita ketika kita dengan sengaja tidak menurut
Firman Allah. Kunci kepada kesetiaan adalah kepercayaan, dan kunci kepada
kepercayaan adalah kasih, bukan dari diri sendiri, tetapi dari Kristus – saksi
kita yang teruji dan terbukti.
Immanuel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar