PENGORBANAN DI
MALAM NATAL
Pada malam Natal yang dingin di tahun 1952, ketika Korea berada dalam keadaan perang saudara, seorang gadis muda berjalan dengan susah payah di sepanjang jalan sebuah desa, untuk segera melahirkan bayi. Ia meminta tolong kepada para pejalan kaki yang lewat. “Tolong saya, tolong bayi saya.”
Tak ada seorangpun yang memedulikan dia. Sepasang suami isteri yang sudah lanjut usia berjalan melewatinya. Sang nyonya mendorong gadis muda itu sambil mencibir, “Dimana ayahnya? Dimana pria Amerika itu sekarang?” Pasangan itu tertawa dan berlalu.
Gadis muda itu makin kesakitan karena kontraksi di perutnya meningkat ketika memperhatikan mereka berlalu.. “Tolong…” ia memohon.
Ia mendengar bahwa seorang misionaris tinggal di sekitar tempat itu yang mungkin mau menolong dia. Dengan bergegas, ia mula berjalan ke arah desa itu. Semoga misionaris itu mau menolong bayinya. Dengan gemetar dan kesakitan, ia berjuang melawan cuaca yang membeku di pedesaan itu. Malam itu sangat dingin. Salju mulai turun. Karena ia menyadari waktunya semakin dekat untuk melahirkan, maka ia berteduh di bawah sebuah jembatan.
Di sana, sendirian, ia melahirkan bayinya di malam Natal. Karena kuatir akan keselamatan bayinya, ia menanggalkan pakaiannya, menyelimuti pakaian itu di sekeliling bayinya dan ia memeluk erat-erat bayi di tangannya.
Keesokan harinya, misionaris itu menembus salju untuk mengantarkan hadiah Natal. Ketika ia berjalan, ia mendengar tangisan seorang bayi. Ia mengikuti suara itu sampai ke bawah jembatan. Di bawah jembatan itu ia menemukan seorang gadis muda yang sudah mati membeku kedinginan, masih memegang erat bayi di pelukannya. Misionaris itu dengan pelan-pelan mengangkat bayi itu lepas dari pelukannya.
Ketika bayi itu menjadi besar dan berusia 10 tahun, misionaris ayah angkatnya itu menceritakan kisah kematian ibunya di malam Natal. Anak muda itu menangis ketika menyadari pengorbanan ibunya.
Keesokan harinya sang misionaris bangun pagi-pagi namun tidak menemukan anaknya. Karena ia melihat jejak kaki yang baru keluar rumah, ia segera mengikuti jejak itu. Rupanya jejak itu menuju ke sebuah jembatan.
Ketika misionaris itu sampai di bawah jembatan, ia berhenti, tertegun. Ia melihat anak angkatnya sedang berlutut di atas salju, telanjang dan gemetar hebat. Bajunya ditaruh di sampingnya. Ia mendengar anak itu berkata melalui gigi yang gemeretuk, “Ibu, apakah engkau dulu kedinginan seperti ini dan berkorban bagiku?”
Ingat Natal, ingatlah pengorbanan Kristus bagi kita sekalian! Dia mati bagi kita agar kita hidup kekal. Dia rela mengorbankan diri-Nya karena Dia sangat mengasihi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar