Bolehkah Anak-anak Bermain Pokemon Go?
oleh: Pdt.
Yakub Tri Handoko, Th.M.
Dunia permainan
sedang digemparkan oleh pemunculan sebuah game yang sangat seru. Namanya adalah
Pokemon Go. Pengguna permainan ini harus mencari berbagai jenis Pokemon yang
tersebar di berbagai tempat. Setiap penemuan satu Pokemon dihargai dengan skor
yang berbeda-beda, tergantung pada jenis Pokemon yang ditangkap. Semakin langka
Pokemon yang ditangkap, semakin besar pula nilai yang diperoleh.
Permainan ini
langsung mendapat respons yang luar biasa dari para gamers. Tidak sampai
sebulan sejak peluncurannya, Pokemon Go langsung menjadi sebuah fenomena
internasional. Bahkan penduduk dari beberapa negara yang belum mendapat jatah
peluncuran pun menggunakan berbagai cara agar permainan ini dapat segera
dinikmati. Indonesia adalah salah satunya. Sebelum Pokemon Go resmi diliris,
banyak orang Indonesia yang sudah mampu mengunduh permainan ini dan
memainkannya.
Tidak dapat
disangkal, permainan ini memang unik dan menarik. Berbeda dengan banyak
permainan yang lain, Pokemon Go melibatkan konsep realita virtual. Ide ini
terbilang jenius. Pengguna game ini perlu bepergian dari satu tempat ke tempat
yang lain untuk mengejar berbagai Pokemon. Ditambah dengan popularitas Pokemon
yang sebelumnya memang sudah merajai dunia permainan anak dan remaja, Pokemon
Go dengan cepat mendapatkan hati para gamers.
Pertanyaannya,
bolehkah orang Kristen memainkan game ini? Bagaimana sikap kita sebagai orang
tua apabila melihat anak kita memainkan Pokemon Go? Untuk menjawab pertanyaan
ini, kita perlu memahami filosofi di balik Pokemon secara umum (bukan hanya
Pokemon Go).
Nilai Filosofis dalam Pokemon
Pokemon merupakan
kependekan dari Pocket Monsters
(monster yang dapat dimasukkan ke dalam saku atau dibawa ke mana-mana).
Permainan ini sudah diperkenalkan di Jepang oleh Nintendo sejak 1996 melalui
kartu-kartu, Nintendo Game Boy, dan TV kartun. Banyak anak sudah mengenal dan
mencintai berbagai figur di Pokemon.
Sesuai dengan
namanya, Pokemon berkaitan dengan berbagai macam monster. Sampai sekarang sudah
ada lebih dari 150 monster. Berdasarkan tipenya ada Pokemon api, elektrik,
hantu, beracun, dan penguasa pikiran (phychic). Masing-masing tipe terdiri dari
berbagai jenis Pokemon.
Yang menarik dari
keragaman monster ini adalah mereka dapat diadu dengan monster yang lain.
Pengguna permainan wajib memahami dengan benar kelebihan dan keunikan dari
masing-masing monster. Beberapa monster dapat berevolusi menjadi monster lain
yang lebih kuat dan ganas. Beberapa lagi dapat diberi tambahan energi. Tanpa
mengenali semua jenis monster dengan baik, sulit bagi seorang pengguna untuk
memenangkan pertempuran antar monster.
Sekilas tidak ada
yang berbahaya dalam permainan Pokemon. Semua adalah tentang figur-figur
monster kartun yang lucu. Cara bermainnya pun terbilang wajar (hanya mengadu
berbagai monster). Dibandingkan dengan game yang lain, misalnya Grand Theft
Auto (GTA), Pokemon terkesan lebih aman. Tidak ada kekerasan yang berlebihan di
dalamnya.
Kekerasan memang
bukan hal yang perlu dirisaukan dalam Pokemon. Sama seperti permainan yang
lain, daya tarik mereka seringkali memang terletak pada unsur kompetisi atau
pertempuran antar figur. Yang menjadi masalah adalah nilai-nilai Gerakan Zaman
Baru yang sangat kental dalam Pokemon. Nuansa okultisme dalam bentuk kekuatan
pikiran (Abra), hipnotis (Haunter/Gastly), dan impartasi energi (Kadabra)
tergambar jelas. Ide tentang penguasaan tanah, air, laut, dan angin jelas
sekali melibatkan unsur filosofi Timur yang bertentangan dengan firman Tuhan.
Manusia tidak mungkin mampu menguasai semua unsur alam ini. Hanya Tuhan yang
mampu melakukannya.
Penganut Gerakan
Zaman Baru diyakinkan bahwa manusia bisa melakukan tindakan-tindakan yang luar
biasa karena manusia pada dasarnya adalah allah. Manusia memiliki hakekat ilahi
dalam diri mereka. Melalui disiplin diri dan kekuatan pikiran, manusia dapat
mengerjakan hal-hal ajaib, seperti memadukan dan menggunakan kekuatan alam.
Anak-anak yang sudah
terlanjur terpikat dengan Pokemon tanpa sadar sudah membiasakan diri dengan
praktik-praktik tertentu yang sarat dengan ide okultisme. Dengan memegang kartu
Pokemon di tangan atau saku, mereka yakin bahwa mereka memiliki energi yang tak
terbatas dan dapat digunakan sewaktu-waktu. Beberapa jenis Pokemon
diperintahkan untuk menyerang monster orang lain seperti layaknya seorang
penyihir yang memerintahkan roh jahat untuk bertempur bagi dia.
Tidak mengherankan,
berbagai situs atau industri yang berkaitan dengan Pokemon sangat dekat dengan
situs atau industri lain yang mengedepankan sihir dan kekuatan pikiran. Mereka
berbagai dasar pemikiran yang sama. Mereka menjual daya tarik yang sama.
Respons Kristiani
Apa yang sudah ada
dalam permainan Pokemon yang lama dimunculkan kembali dalam Pokemon Go.
Beberapa variasi dan modifikasi tentu saja diberikan, tetapi secara umum konsep
yang diusung dalam permainan Pokemon tetap sama. Hanya penggunaan realita
virtual yang dapat dikatakan benar-benar baru. Jika benar demikian, apakah Pokemon
Go merupakan permainan yang aman bagi anak-anak? Apakah kita seharusnya
mengizinkan anak-anak kita memainkan Pokemon Go?
Saya menganjurkan
agar orang tua Kristen menghindari dua ekstrim: terlalu melindungi
(over-protective) dan terlalu membiarkan (over-permissive). Yang satu berarti
melarang anak-anak memainkan permainan apapun yang duniawi. Yang kedua berarti
memberi kebebasan tanpa batas dan tanpa pantauan kepada anak-anak.
Di satu sisi, kita
tidak mungkin mengisolasi anak-anak dari berbagai pemikiran duniawi yang ada di
sekitar kita. Mereka pasti bersentuhan dengan TV, video game, game online,
iklan, dsb. Ada peperangan konsep yang terjadi setiap hari. Tugas orang tua
bukanlah menjauhkan anak-anak dari semua itu (ini mustahil untuk dilakukan).
Tugas utama orang tua adalah mengajarkan prinsip-prinsip theologis yang
alkitabiah, sehingga anak-anak mampu menimbang dan mengevaluasi setiap konsep
duniawi yang ada.
Untuk mencapai ini
diperlukan kebersamaan dan bimbingan. Orang tua perlu meluangkan waktu mempelajari
dan mencoba berbagai permainan yang sedang digandrungi oleh anak-anak dan
remaja. Jika kita tidak pernah mengenali permainan-permainan itu, bagaimana
kita bisa membimbing anak kita untuk menilai sebuah permainan secara tepat?
Permainan yang buruk justru menjadi sarana pembelajaran bagi anak-anak tentang
dunia yang sudah rusak oleh dosa dan memerlukan penebusan Kristus.
Di sisi lain, kita
perlu memberi batasan pada anak-anak. Anak-anak tidak hanya membutuhkan
bimbingan dan penjelasan tentang bahaya suatu permainan. Mereka juga perlu
dikondisikan dengan cara membatasi keterlibatan mereka.
Sebuah permainan yang
dilakukan terus-menerus pasti akan berdampak pada pemikiran si pengguna
permainan itu. Bagi anak-anak yang terlalu kecil, mereka seringkali tidak bisa
membedakan mana yang riil mana yang tidak. Apa yang ada di permainan seringkali
dianggap nyata. Hal ini jelas berbahaya.
Bagi remaja pun tetap
perlu dilakukan pembatasan. Interaksi secara intensif dengan ide tertentu pasti
akan berdampak pada pemikiran mereka. Semua ini terjadi secara alamiah dan
tanpa disadari.
Berdasarkan
pertimbangan di atas, saya menganjurkan orang tua untuk mengizinkan anak-anak
mencoba Pokemon Go (bukan memainkannya terus-menerus). Ini adalah kesempatan
kita untuk menjelaskan betapa bahayanya dunia di sekitar mereka. Permainan yang
tampaknya lugu pun sudah digunakan Iblis untuk meracuni pemikiran banyak orang.
Anak-anak perlu tahu bahwa pencipta Pokemon, Satoshi Tajiri, pun mengakui kalau
karya-karyanya bersifat anti-Kekristenan. Anak-anak perlu diajar untuk
mengenali peperangan konsep yang mereka hadapi setiap hari. Peperangan kita
benar-benar bukan melawan darah dan daging, tetapi roh-roh jahat di udara (Ef. 6:10-12). Anak-anak
perlu diajar untuk selalu mengalami transformasi akal budi di dalam Kristus (Rm. 12:2).
Saya juga
menganjurkan agar orang tua memberi batasan yang tegas dan ketat bagi anak-anak
dalam penggunaan Pokemon Go. Sesudah menjelaskan penilaian Kristiani terhadap
permainan ini, kita bisa memberi kesempatan anak-anak untuk memainkannya selama
beberapa hari. Pemberian kesempatan ini harus dibarengi dengan perjanjian yang
jelas. Sesudah mencoba dalam durasi tertentu, anak-anak harus menghapus
permainan itu di HP atau tablet mereka. Anak-anak juga perlu belajar apa artinya
pengendalian diri (Ef 5:23; 1Pet. 4:7).
Hal-hal Lain yang Perlu Dijelaskan
Selain bahaya dari
sisi pemikiran filosofis, Pokemon Go juga menghadirkan bahaya-bahaya yang lain.
Yang pertama adalah keselamatan diri. Beberapa berita melaporkan bahwa pengguna
Pokmeon Go telah mengalami kecelakaan yang fatal. Ada yang tertabrak mobil pada
waktu asyik mencari Pokemon di tengah jalan. Ada pula yang jatuh dari tebing
dengan alasan yang sama. Berita lain menyatakan bahwa para pengguna mengalami
perampokan dan perampasan karena mencari Pokemon di tempat-tempat yang tidak
aman. Hal-hal seperti ini dapat terjadi, karena kita tidak pernah tahu di mana
monster-monster itu berada.
Bahaya lain adalah
privasi. Pencarian monster kadangkala mengharuskan penggunaan untuk masuk ke
tempat-tempat tertentu yang merupakan properti pribadi orang lain atau
tempat-tempat lain yang tidak terbuka untuk umum. Keinginan untuk mendapatkan
monster-monster yang langka seringkali memaksa orang untuk melanggar privasi
orang, sehingga menimbulkan berbagai persoalan.
Bahaya yang terakhir
adalah kecanduan. Permainan yang mengasyikkan seperti Pokemon Go berpotensi
membelenggu penggunanya. Mereka menjadi terikat pada permainan ini. Ditambah dengan
atmosfir kompetitif dengan para pengguna yang lain untuk, anak-anak kadangkala
rela membayar harga yang terlalu mahal demi sebuah kebanggaan: menangkap semua
monster yang ada.
Kiranya artikel ini
bermanfaat bagi para orang tua Kristen. Kiranya kita selalu diingatkan dengan
sebuah perintah penting dalam Alkitab: “Didiklah orang muda menurut jalan yang
patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada
jalan itu” (Ams. 22:6) atau “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah
engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada
anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau
sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.
Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah
itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang
pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu” (Ul. 6:6-9). Soli Deo Gloria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar