PADA HARI NATAL HATI KITA JUGA IKUT PULANG
Pada hari Natal, semua jalan padat dengan kendaraan yang menuju ke rumah.
Pesawat terbang yang terisi penuh, kereta api yang penuh sesak, bis yang berlimpah ruah yang dipadati dengan orang-orang yang memunyai tujuan yang sama: pulang ke rumah. Meskipun harus berdesakan dan saling mendorong, belum lagi kalau harus menunggu karena jadwal keberangkatan ditunda, berada di tengah-tengah kekacauan, tetapi kita tetap setia menggenggam bungkusan hadiah yang berwarna-warni karena kita ingin sampai di rumah. Kita seperti burung yang digerakkan oleh naluri yang hampir tidak kita pahami -- kerinduan untuk berkumpul bersama kerabat dan sanak saudara.
Apabila kita sudah duduk nyaman di muka perapian, dikelilingi anak-anak yang semakin besar, atau menantikan kedatangan anggota keluarga yang lebih tua, barulah kita merasa tenang. Ingatan kita kembali pada masa Natal yang sudah lama berlalu. Sekali lagi kita terbuai pada suasana gembira setiap kali membuka kertas pembungkus hadiah Natal, pemberian yang berharga dari orang tua kita yang memiliki daya tarik tersendiri pada setiap malam Natal. Atau kita mengenang peristiwa khusus pada hari Natal yang tidak mudah terlupakan.
Satu ingatan Natal sungguh istimewa bagi saya -- Natal dalam masa Depresi Ekonomi waktu ayah berhenti bekerja, sehingga kami berserakan ke pelbagai tempat, berjuang supaya dapat melanjutkan sekolah atau paling tidak tetap dapat bertahan hidup. Saudara perempuan saya, Gwen dan suaminya, seorang guru yang pertama kali ditugaskan di negara bagian lain, sedang menantikan kelahiran anak mereka yang pertama. Saudara laki-laki saya, Harold, yang bercita-cita menjadi aktor, sedang mengikuti pertunjukan keliling. Saya seorang karyawan yang sudah lama bekerja di sebuah universitas kecil, yang jaraknya lima ratus mil dari rumah. Atasan saya menawarkan lima puluh dolar -- betapa beruntungnya saya -- untuk menjaga supaya kantornya tetap buka selama dua minggu sewaktu ia dan istrinya bepergian.
"Dan memang saya sedang memerlukan uang! Bu, saya tahu Ibu pasti mengerti," tulis saya.
Saya tidak siap menerima jawaban ibu dalam suratnya yang menunjukkan keprihatinan. Anak-anak yang lain juga tidak bisa datang! Kalau tidak ada Barney, anak saudara saya yang laki-laki, ibu dan ayah hanya berdua saja. "Rumah ini akan terasa sepi, tetapi tidak usah cemas. Ayah dan Ibu baik-baik saja."
Saya sungguh-sungguh khawatir. Baru pertama kali ini kami tidak berkumpul pada hari Natal! Kesedihan saya bertambah dalam ketika mendengar lagu-lagu Natal berkumandang dari ruang atas, ketika mendengar lorong ramai dengan suara tawa dan celoteh gadis-gadis lain yang berkemas-kemas pulang ke rumah.
Pada suatu malam, waktu asrama sudah hampir kosong, saya menerima telepon interlokal. "Gwen!" seru saya terkejut. "Ada apa?" (Pada waktu itu telepon interlokal biasanya berarti harus pulang karena keadaan darurat).
"Leon mendapat generator baru dan kami rasa mobil tua itu dapat dikendarai sampai ke rumah. Saya sudah mengirim telegram kepada Harold -- kalau ia bisa bertemu dengan kami di tengah jalan, ia bisa pulang bersama kami. Tetapi jangan memberitahu ayah dan ibu dahulu; kami ingin memberi kejutan. Marj, kamu juga harus datang."
"Tetapi saya tidak punya uang sedikit pun untuk membeli hadiah!"
"Kami juga tidak punya. Gunting sebuah katalog dan bawa gambar barang-barang yang akan kamu beli, seandainya kamu bisa dan akan membelinya nanti!"
"Itu bisa saya lakukan, Gwen. Tetapi saya tidak dapat meninggalkan tempat ini sekarang."
Setelah pembicaraan kami selesai, saya mengambil gunting. Mantel yang terbuat dari bulu binatang, parfum, arloji, pakaian, mobil -- oh, betapa inginnya kami memberikan barang-barang mewah itu untuk orang-orang yang kami sayangi. Yah, setidaknya saya dapat mengirimkan guntingan hadiah itu ke rumah -- disertai tulisan "Saya berutang kepada kalian".
Saya masih melamunkan "daftar hadiah" tersebut sewaktu dipanggil lagi karena ada telepon. Atasan saya akhirnya memutuskan untuk meliburkan kantornya. Hati saya melonjak gembira karena belum terlambat ke Fort Dodge, dengan menumpang mobil gadis yang kamarnya terletak di dekat aula bawah! Saya berlari, mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.
Mobil mereka sudah penuh katanya -- kecuali kalau saya mau duduk di pangkuan seseorang. Ayahnya sedang menunggu di bawah. Saya melemparkan barang-barang ke dalam koper, lalu cepat-cepat memakai jaket yang lapisan kerahnya sudah sobek, sampai lapisan itu terjulur ke luar seperti sarung tangan, sehingga saya harus memakainya kembali dengan lebih berhati-hati.
Salju sedang turun waktu kami masuk ke dalam mobil yang tidak ada pemanasnya. Kami berkendaraan sepanjang malam diiringi suara kelepak gorden jendela samping, kami menyanyi dan saling berpelukan supaya tetap hangat. Kami sama sekali tidak keberatan -- kami mau menjalani semua itu karena kami akan pulang ke rumah!
"Marj!" Ibu berdiri di pintu, merapatkan mantel ke sekeliling tubuhnya. Rambutnya yang hitam keperakan tergerai di punggung, matanya terbelalak karena khawatir. Lalu ia berseru dengan penuh kegembiraan bercampur rasa tidak percaya, "Oh ... Marj."
Saya tidak akan melupakan tatapan matanya atau pelukannya yang begitu lembut dan hangat setelah merasakan dingin yang menusuk. Perjalanan semalaman itu membuat kaki saya kaku kedinginan, tetapi mulai hangat lagi setelah orang tua saya memberi makanan dan mengantar saya tidur. Beberapa jam kemudian saya terbangun karena suara gemerincing hiasan kereta salju yang digantung ayah setiap tahun di pintu. Dan karena suara-suara yang sudah tidak asing lagi. Keponakan saya berteriak, "Harold! Gwen!" Berhamburanlah pekikan tidak percaya, gelak tawa, ciuman, dan pertanyaan yang bertubi-tubi. Kami semua berkumpul mengelilingi meja dapur seperti yang biasa kami lakukan, menceritakan pengalaman-pengalaman kami.
"Saya harus menumpang sampai di Peoria," teriak kakak laki-laki saya dengan gembira. "Bayangkan, saya, orang penting ... memakai ini!" Ia mengangkat sepatunya yang indah, tetapi lidah solnya megap-megap terbuka.
"Astaga, untung kamu sampai juga di sini." Muka ayah yang penuh berseri-seri. Dan tiba-tiba ia menangis terharu -- padahal ayah tidak pernah menangis. "Kita semua berkumpul bersama."
Berkumpul bersama. Kami menyadari bahwa pertemuan ini merupakan hadiah terbaik yang dapat kami berikan satu sama lain. Kami semua berkumpul di rumah lama, tempat kami biasa merayakan Natal. Tidak ada hadiah lain, termasuk yang ada dalam daftar barang-barang mewah meskipun bisa dibeli, yang dapat menggantikannya.
Hampir pada setiap hari Natal setelah itu kami selalu beruntung. Bertahun-tahun sewaktu anak-anak bertumbuh semakin besar, kami selalu berkumpul. Sampai akhirnya, tidak disangka-sangka sejarah terulang kembali. Karena ada keperluan yang mendesak, tidak ada seorang anak pun yang bisa pulang ke rumah. Yang lebih buruk lagi, suami saya harus ke Florida untuk dioperasi. Suami saya orang yang berani dan angkuh, ia tetap bersikeras tidak perlu kami temani "hanya karena itu adalah hari Natal", sedangkan ia akan kembali minggu berikutnya.
Seperti ibu saya yang waktu itu hanya ditemani salah seorang cucunya, saya juga hanya ditemani salah seorang anak saya, Melanie, yang berumur empat belas tahun. "Keadaan kita akan baik-baik saja," katanya, berusaha menghibur saya.
Kami membuat perapian yang besar setiap malam, pergi ke gereja, membungkus hadiah, mencoba bersikap biasa-biasa saja. Tetapi kesedihan yang kami rasakan semakin menggigit. Dan, sehari sebelum Natal, tangisan kami meledak. "Bu, kasihan ayah sendirian di sana!"
"Ibu tahu." Sambil berdoa mengharapkan adanya keajaiban, saya berlari mendekati telepon. Pesawat terbang sudah penuh, tetapi masih ada satu kabin tidur di kereta api terakhir yang menuju Miami. Hampir histeris karena lega dan gembira, kami memasukkan barang-barang ke dalam tas.
Dan sungguh malam Natal yang meriah! Seperti anggota komplotan yang kompak, kami berbaring berdekatan dalam kabin yang nyaman. Melanie menggantung hiasan Natal yang mungil di jendela. Kami tak henti-hentinya memandangi kilatan cahaya diiringi irama gerakan kereta desa-desa kecil dan jalan-jalan di kota -- semuanya bertaburan dengan cahaya, hiasan, dan pohon Natal yang gemerlapan. Mobil-mobil, daerah pinggiran kota yang bersalju, dan orang-orang -- semua orang. Setiap orang sedang dalam perjalanan karena terdorong oleh kasih dan karena ingin bersama-sama merayakan malam yang berharga.
Akhirnya, kami tertidur. Tetapi beberapa jam kemudian saya terbangun karena merasa heran, suasana tiba-tiba menjadi hening. Kereta api berhenti. Bayangan yang semula samar-samar kini tampak jelas, saya melihat sebuah kota kecil yang sunyi, terpencil, dan hanya sedikit lampu yang masih menyala. Di bawah pohon yang ranting-rantingnya tidak berdaun, seorang pria melangkahkan kakinya di sepanjang jalan yang sepi. Ia masih muda, berpakaian kelasi berwarna biru, kepalanya menunduk, badannya terbungkuk memikul kantong terpal yang berat di bahunya. Dan saya berpikir, Pulang! Kasihan pemuda itu, ia tampak sedih, padahal ia hampir tiba di rumah. Saya ingin tahu apakah ada yang masih terjaga menantikannya; atau apakah ada yang tahu ia akan datang. Hati saya meratapinya, karena ia tiba-tiba menjadi anak laki-laki saya -- itulah jiwa dan roh saya -- terbuai, terbawa oleh arus yang memanggil setiap tahun, "Pulanglah!"
Pulang untuk merayakan Natal. Pasti ada alasan psikologis mengapa kita begitu ingin pulang ke rumah pada waktu yang istimewa ini. Mungkin tanpa sadar kita sudah bertindak seperti sepasang pria dan wanita yang menantikan kelahiran anak mereka bertahun-tahun yang lalu, berjalan perlahan-lahan menunggang keledai ke tempat yang dituju. Yusuf, ayah-Nya di dunia, harus pulang untuk mendaftarkan diri. Setiap pria harus pulang ke kota kelahirannya.
Kelahiran. Mukjizat kelahiran yang luar biasa memancar melalui langkah dan kata dalam cerita Alkitab. Perjalanan panjang dan sukar melintasi pegunungan di Galilea dan Yudea, juga merupakan bagian dari perjalanan kehidupan menjelang peristiwa kelahiran. Ketika mereka tiba di Betlehem, sudah waktunya bagi Maria untuk melahirkan. Waktunya semakin dekat dan mereka semakin putus asa karena semua penginapan sudah terisi. Oleh sebab itu, suaminya menerima tempat yang ada, kandang hewan yang sederhana.
Anak yang lahir pada hari Natal pertama itu bertumbuh menjadi seorang pria, Yesus. Ia menyembuhkan banyak orang, mengajarkan kita banyak hal yang penting. Tetapi berita yang meninggalkan pengaruh yang paling lestari; yang memberikan harapan dan hiburan yang paling besar ialah: bahwa kita memiliki sebuah rumah yang akan dituju dan pada suatu saat kelak -- semua orang percaya akan pulang ke sana. Suatu tempat di mana kita akan berkumpul kembali dengan orang-orang yang kita kasihi.
Itu gambaran saya tentang surga. Di sana ibu berdiri di pintu, mungkin sedang memberi pengarahan kepada ayah tentang cara menyembelih kalkun atau menghias pohon Natal, dan ayah benar-benar menikmati saat-saat seperti itu. Teman-teman lama dan para tetangga berderet masuk dan keluar. Suasana perayaan yang penuh kasih dan sukacita ini akan berlangsung selama-lamanya.
Di sana setiap hari adalah hari Natal dan semua orang berkumpul bersama. Di rumah.
(Diambil dari:/Judul buku: Kisah Nyata Seputar Natal/Judul artikel: Pada Hari Natal Hati Kita Juga Ikut Pulang/Penulis artikel: Marjorie Holmes/Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung/Halaman:35-40/e-DOA)
* * * * *
Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya. (Yehezkiel 34:16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar