Minggu, 17 Mei 2015

Pelayanan Doa

Jumat, 15 Mei 2015.
Pelayanan persekutuan doa KKAB dan mendoakan jemaat dan anak-anak Tuhan di rumah Bapak L. Sianturi, Jaya Mukti, Dumai.




Kesaksian : PEGNGANTAR KECAP YANG JADI PENDETA

PENGANTAR KECAP YANG JADI PENDETA

Aku lebih dikenal dengan panggilan Ute. Aku dilahirkan sebagai putra ketiga di antara lima bersaudara, di kota udang Cirebon pada 27 Desember 1960.

Karena kesulitan ekonomi keluarga, aku kemudian ikut saudaraku untuk bisa menyelesaikan SMP-ku di BPK Jakarta. Setelah itu, aku langsung bekerja. Dengan berbekal ijazah SMP yang kukantongi, aku memasuki kota Bandung dan bekerja sebagai buruh pengantar. Setiap hari aku berkeliling kota Bandung untuk mengantar barang dengan menggunakan sepeda angin. Bukannya aku tidak ingin melanjutkan sekolah, namun keadaanlah yang membuat diriku kurang memungkinkan untuk bisa meneruskan sekolah. 


Pada suatu hari, saat aku sedang berkeliling kota untuk mengantarkan kecap kepada para langgananku, tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah poster ukuran folio yang tertempel di dinding sebuah toko. Poster itu berada tepat di dinding tempat aku menyandarkan kereta anginku yang sarat dengan botol-botol kecap yang kubawa. Poster itu membuat hatiku tertarik untuk membacanya, sehingga aku sempat merenung beberapa saat lamanya. Poster tersebut lalu kulepas dari dinding tembok dan kukantongi.

Sepanjang perjalanan, sambil mengayuh pedal sepedaku untuk mengantarkan kecap ke para langganan, pengumuman dalam poster tersebut terus mengganggu pikiranku. Begitu aku menyelesaikan tugas, di tempat pekerjaanku poster itu kubaca kembali. Begitu pula yang kulakukan pada sore dan malam harinya saat aku membaringkan tubuhku yang terasa penat di kamarku yang sempit. Aku berulang kali membaca pengumuman dalam poster yang tadi kuambil. Dan akhirnya, aku pun memutuskan untuk mengikuti lomba baca puisi yang dipublikasikan lewat poster itu.

Setelah mendaftarkan diri di kantor sekretariat panitia lomba, aku kemudian mulai melatih diri untuk membaca puisi sendiri di dalam kamar. Tak ada guru yang membimbing, maklum aku sudah tak bersekolah lagi. Tak ada teman yang bisa mengajari, karena di Bandung ini diriku hanyalah seorang anak rantau yang hidup sebatang kara.

Aku tak pernah bermimpi sama sekali, bahwa lomba baca puisi yang kuikuti karena perbuatan iseng dan hanya mengikuti dorongan hatiku, ternyata akan membuat suatu perubahan hidup bagi masa depanku. Perubahan itu terjadi saat piala kejuaraan Lomba Baca Puisi untuk kelompok pria tingkat SLTA dan Umum se-Kodya Bandung berhasil kuraih. Di atas panggung dan disaksikan pula oleh banyak orang, aku memeluk erat-erat piala pertama yang berhasil kuraih.

Di dalam kamarku yang sempit, aku merenungi kiprah yang telah kulakukan ini, dan yang kemudian menimbulkan rasa percaya diri di hatiku. Di dalam lomba baca puisi itu aku berhasil mengalahkan sederetan para pelajar tingkat SLTA dan mahasiswa, yang kesemuanya masih memiliki status sebagai pelajar. Sedangkan diriku? Hanyalah seorang pengantar kecap!

"Kalau sebagai pengantar kecap saja aku mampu mengalahkan mereka, apakah aku ini juga masih punya kemampuan untuk belajar kembali dan bisa meraih ijazah tingkat SLTA? Apakah aku akan terus saja menjadi pengantar kecap atau kurir barang selama hidupku?" Demikian pertanyaan yang sangat menantang ini terus saja mengusik pikiranku. Terdorong oleh niatku untuk belajar kembali dan menjajal kemampuan diriku, maka aku pun lalu memasuki sekolah malam di SMA YP 17 Bandung. Tiga tahun kulalui tanpa halangan, dan ternyata aku berhasil menyelesaikan studiku dengan baik.

Sementara bersekolah dan bekerja, aku melibatkan diri secara aktif dalam kegiatan pelayanan di gerejaku, menjadi guru sekolah minggu. Pada waktu gereja tersebut membuka kesempatan pemberian beasiswa bagi siswa yang ingin menempuh sekolah teologi, maka tanpa pikir panjang lagi aku pun segera mendaftarkan diri. Dengan bantuan beasiswa gereja, aku kemudian menjadi mahasiswa di Fakultas Teologia Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta. Di universitas ini, aku aktif berorganisasi di berbagai persekutuan pemuda GKI Ngupasan Yogyakarta, dan melakukan orientasi di berbagai gereja yang ada di Jawa Tengah. Aku juga melayani kegiatan rohani antarmahasiswa, termasuk menjadi pengasuh majalah rohani kampusku.

Selama menjadi mahasiswa di Yogyakarta, aku mengembangkan bakat atau talenta yang Tuhan berikan kepadaku. Di samping sebagai redaktur pengasuh di majalah terbitan kampusku, aku juga menulis berbagai artikel lepas, cerita pendek, dan puisi. Aku pun lalu dikenal sebagai seorang cerpenis muda dengan nama UT Saputro. Beberapa kali cerpenku muncul di majalah remaja Gadis yang terbit di Jakarta. Sejumlah cerpenku yang bernapaskan kristiani sering dimuat di majalah khusus rohani. Di samping menulis cerpen, aku juga berhasil memublikasikan dua karya novelet sebagai sisipan bonus khusus sebuah majalah.

Setelah menyelesaikan pendidikan teologi di UKDW, aku kembali ke Bandung dan kini melayani di GKI Maulana Yusuf, Bandung. Dimulai dengan jabatan sebagai vikaris (pembantu dalam jabatan pimpinan gereja), aku kemudian diangkat sebagai tua-tua khusus, dan kini diriku menjadi pendeta dan pelayan penuh di GKI Jalan Maulana Yusuf, Bandung.

Sekarang aku mengalihkan segala talenta yang kuperoleh untuk berdiri di belakang mimbar, menjadi pengkhotbah di jajaran gereja kelompok GKI. Aku juga mengajar di Sekolah Menengah Farmasi BPK Penabur, Bandung. Namun demikian, kegiatan menulisku masih terus juga kulakukan, di antaranya aku menjadi pengisi ruang khotbah Minggu di Harian Pikiran Rakyat Bandung.

(Diambil dan disunting dari:/Judul buku: Semua Karena Anugerah-Nya/Penulis: Adhy Asmara/Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 1996/Halaman: 57-62/i-kan-kisah)

* * * * *

Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia. (1 Korintus 2:9)

Artikel : EMPAT OBAT MUJARAB

EMPAT OBAT MUJARAB


Ada seorang anak muda. Ia telah berusaha memberikan dasar yang kokoh bagi keluarganya. Namun ia menemukan kekosongan di dasar sanubarinya. Ia dilanda kecemasan dan kehilangan arah hidup. Semakin hari situasinya semakin parah. Ia memutuskan untuk pergi ke dokter sebelum menjadi amat terlambat.

Setelah mendengarkan keluhannya, dokter memberikan empat bungkus obat sambil berpesan, "Besok pagi sebelum jam 9 pagi engkau harus menuju pantai seorang diri sambil membawa ke empat bungkus obat ini. Jangan membawa buku atau majalah. Juga jangan membawa radio atau tape. Bukalah bungkusan obat sesuai dengan waktu yang tertera pada bungkusnya, yakni pada jam 9, jam 12, jam 3 dan jam 5. Dengan mengikuti resep yang ada di dalamnya aku yakin penyakitmu akan sembuh."

Keesokan harinya, antara percaya dan ragu, ia pergi juga ke pantai. Tepat jam 9, ia membuka bungkusan obat yang pertama. Tapi tak ia dapati obat di dalamnya, cuma secarik kertas dengan tulisan: “Dengarlah.”

Dia heran, tapi akhirnya patuh juga. Ia lalu duduk tenang mendengarkan desiran angin pantai serta deburan gelombang yang memecah bibir pantai. Ia bahkan secara perlahan-lahan mampu mendengarkan setiap detak jantungnya sendiri yang menyatu dengan alam di pantai itu. Telah begitu lama ia tak pernah duduk dan menjadi sungguh tenang seperti hari ini. Ia terlampau sibuk dengan usahanya. Saat ini ia merasa seakan-akan jiwanya dibasuh bersih.

Jam 12 tepat. Ia membuka bungkusan obat yang kedua. Tentu seperti halnya bungkusan yang pertama, tak ada obat yang didapati kecuali selembar kertas bertulis: "Mengingat."

Ia beralih dari mendengarkan "musik" pantai yang indah dan nyaman itu dan perlahan-lahan mengingat setiap jejak langkahnya sendiri sejak kanak-kanak. Ia mengingat masa-masa sekolahnya dulu, mengingat kedua orang tuanya yang senantiasa memancarkan kasih di wajah mereka. Ia juga mengingat semua teman yang ia cintai dan tentu juga mencintainya. Ia merasakan ada segumpal kekuatan dan kehangatan hidup memancar dari dasar batinnya.

Ketika ia membuka bungkusan ketiga saat waktu menunjukan jam 3 tepat, ia menemukan secarik kertas dengan tulisan: "Menimbang dan menilai motivasi."

Ia memejamkam mata, memusatkan perhatiannya untuk menilai kembali niat pertama ketika ia membangun usahanya. Saat itu yang menjadi inspirasi utama ia membuka usahanya adalah secara gigih bekerja untuk melayani kebutuhan sesamanya. Namun ketika usahanya kini telah memperoleh bentuknya, ia lupa hal ini dan hanya berpikir tentang keuntungan yang bakal diperoleh. Keuntungan kini menjadi penguasa dirinya, ia telah berubah menjadi manusia yang egoistis, serta lupa memperhatikan nasib orang lain. Ia kini seakan telah mampu melihat akar penyakitnya sendiri, ia menemukan alasan yang senantiasa membuatnya cemas.

Ketika matahari telah hilang dan bentangan laut berubah merah, ia membuka bungkusan obatnya yang terakhir. Di sana tertulis: “Tulislah segala kecemasanmu di bibir pantai." Ia menuju bibir pantai, lalu menuliskan kata "cemas." Ombak datang serentak dan menghapus apa yang baru dituliskannya. Bibir pantai seakan disapu bersih, kata "cemas" yang baru ditulisnya hilang ditelan ombak.

Siapakah tokoh utama dalam kisah di atas?

Mungkin aku, mungkin pula anda. Pernahkah aku secara tulus mendengarkan bahasa batinku sendiri? Atau pernahkah aku mengingat segala yang manis maupun pahit yang terjadi di masa silam namun telah membentuk siapa aku saat ini? Apa yang menjadi motivasi utama hidupku hari ini dan esok? Dan apa kecemasanku? Mari kita menuliskan setiap beban dan kecemasan kita di atas salib Yesus, Salib yang memberikan kekuatan. Sebab Ia sendiri pernah berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Matius 11:28.

* * * * *

Barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal. (Yohanes 4:14)

Kabar Baik : Pahit Jadi Manis

Shalom.
Tetapi ia berkata kepada mereka: "Janganlah sebutkan aku Naomi; sebutkanlah aku Mara, sebab Yang Mahakuasa telah melakukan banyak yang pahit kepadaku. (Rut 1:20)
Semua orang pasti ingin memiliki kehidupan yang layak. Namun, meraih kehidupan yang layak, tak semudah membalik telapak tangan. Ada yang harus merantau ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri untuk mendapatkan mata pencaharian. Banyak kisah sukses tentang mereka, namun tidak sedikit pula kisah sedih yang terjadi.

Kisah sedih para perantau bukan sesuatu yang baru. Lihatlah kisah hidup Naomi. Siapa menyangka usaha Elimelekh, suaminya, untuk mencari kehidupan yang layak di Moab justru membawa petaka. Di sana Naomi kehilangan Elimelekh, juga kedua anaknya, Mahlon dan Kilyon. Gagal di negeri orang, Naomi memutuskan pulang ke Betlehem. Dalam keadaan terpuruk. Begitu terpuruk--sampai ia menolak dipanggil Naomi. Ia memilih dipanggil Mara, yang artinya pahit (ay. 20). Sungguh bertolak belakang dengan Naomi, yang artinya manis.

Kegagalan kerap membuat seseorang terpuruk. Tetapi, kegagalan bukan akhir dari segalanya. Firman-Nya berkata, "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan" (Rm 8:28). Ya. Dalam segala sesuatu. Termasuk kegagalan. Dengan kata lain, bahkan dalam kegagalan pun, Allah turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan.

Perjalanan hidup tak selalu mulus. Ada kalanya Tuhan mengizinkan kegagalan terjadi. Namun, tanamkan selalu dalam hati, semua itu akan mendatangkan kebaikan. Naomi pulang ke Betlehem sebagai pecundang. Namun, pada waktunya, Tuhan mengangkat Naomi sebagai pemenang (Rut 4:14-17). Tuhan sanggup mengubah segala yang pahit menjadi manis. Amen.

DALAM TUHAN, SEKALIPUN PAHIT, KEGAGALAN AKAN BERBUAH MANIS

I Salam,
 LGHutagalung
Komunitas Kasih Anggur Baru
Jln. Kesehatan Gg. Sentosa #7 Kota Dumai

( : 0821-72287474  Twitter : @KomunitasKasih

Kabar Baik : Yesus Naik ke Surga

Kabar Baik : Yesus Naik ke Surga

Shalom.

Lukas 24:50-53

Perpisahan dengan orang yang kita kasihi biasanya membawa kesedihan. Terlebih, jika perpisahan itu adalah perpisahan yang tidak memungkinkan adanya pertemuan kembali. Misalnya, bila orang yang kita kasihi pergi menghadap Penciptanya.

Empat puluh hari telah berlalu sejak kebangkitan Yesus. Para murid saat itu berada di Yerusalem. Sebelumnya, mereka kebingungan dan putus asa karena wafatnya Yesus. Namun saat itu mereka sudah berubah.Perhatikanlah bagaimana respons murid-murid Yesus dalam menghadapi perpisahan dengan Yesus ketika Ia terangkat ke surga (51). Murid-murid yang sebelumnya dilingkupi perasaan sedih, saat itu bersukacita (52). Bukan hanya itu. Para pengikut Yesus, yang beberapa waktu sebelumnya menutup diri di balik pintu yang terkunci, tersembunyi dari para pemimpin Yahudi yang menyalibkan Tuhan mereka, saat itu berani secara terbuka memuji-muji Allah di Bait Allah. Sukacita dan pujian terus memenuhi hati murid-murid Yesus (53).

Kenaikan Yesus ke surga merupakan penggenapan nubuat yang Ia nyatakan kepada para pemimpin Yahudi sebelum Ia disalibkan, "Mulai sekarang Anak Manusia sudah duduk di sebelah kanan Allah Yang Mahakuasa." (Luk 22:69). Fakta bahwa Yesus sekarang sudah naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa, menunjukkan bahwa Yesus telah menggenapi misi-Nya di dunia ini, sesuai dengan pekerjaan yang dipercayakan Bapa kepada-Nya (Yoh 17:4).

Karya Yesus itulah yang membuat kita sekarang dapat menikmati hubungan dengan Allah yang sudah diperdamaikan oleh Yesus Kristus melalui pencurahan darah-Nya. Kita kini memiliki pengharapan, baik dalam masa hidup sekarang ini maupun untuk masa setelah itu. Yesus telah berada di sebelah kanan Bapa untuk menantikan saatnya ketika Ia datang kembali dalam kuasa dan kemuliaan untuk menyambut kita bagi diri-Nya. Oleh karena itu, kenaikan Tuhan Yesus ke surga seharusnya memenuhi hati kita dengan sukacita dan puji-pujian bagi nama-Nya, karena masa depan kita bersama-Nya adalah sepasti firman-Nya. Amen.

Tuhan Yesus memberkati.


I Salam,
 LGHutagalung
Komunitas Kasih Anggur Baru
Jln. Kesehatan Gg. Sentosa #7 Kota Dumai

( : 0821-72287474  Twitter : @KomunitasKasih

8 NASIHAT UNTUK PARA SUAMI

 8 NASIHAT UNTUK PARA SUAMI “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya...